Chapter 7 Always
On My Mind
Maybe I didn't treat you
Quite as good as I should have
Maybe I didn't love you
Quite as often as I could have
Little things I should have said and done
I just never took the time
But you were always on my mind
You were always on my mind
Maybe I didn't hold you
All those lonely, lonely times
And I guess I never told you
I'm so happy that you're mine
If I made you feel second best
Girl, I'm sorry I was blind
You were always on my mind
Tell
me, tell me
That
your sweet love hasn't died
Give me, give me one more chance
To keep you satisfied
Satisfied
Little things I should have said & done
I
just never took the time
You were always on my mind...
You were always on my mind...
(Michael Buble - Always On My Mind)
Lagu
itu sangat tepat jika diminta untuk menggambarkan bagaimana perasaanku
sekarang. Sudah 2 tahun terhitung sejak aku kehilangan orang-orang yang kurasa
“dekat” dan memutuskan untuk sendiri lagi. Tapi tetap saja yang satu itu
sepertinya betah ‘bersemayam’ di dalam pikiranku untuk beberapa waktu yang
cukup lama. Ya. Siapa lagi. Tak bosan-bosan aku sebut namanya, Raymond.
Entah
paham apa yang kuanut sekarang, aku seolah-olah percaya pada kemustahilan yang
kualami sekarang. Mustahil karena jarak yang sulit dijangkau, waktu yang terus
berputar menjauh, dan perasaan yang belum tuntas. Dunia ini terasa makin sempit
saja, dengan begitu banyaknya bertaburan media sosial, aku bisa saja dengan
mudah mengakses halamannya hanya untuk sekedar melihat postingan terbarunya.
Sekali-kali aku memandangi fotonya hanya untuk menepis rasa kehilanganku (sebut
saja: rindu).
Enggan
memang. Menghabiskan waktu untuk sesuatu yang sebenarnya tidak perlu, tapi tak
bisa kupungkiri aku masih mengharapkannya kembali lagi. Kadang selalu dihantui
penyesalan di akhir seperti ini. Namun hukum dunia ini memang adil. Kalau
penyesalan terjadi di awal, orang-orang ini akan takut untuk bertindak. Sebut saja,
penyesalan ini adalah awal untuk hal yang lebih benar adanya.
Mencoba
membijaki diri sendiri seolah-olah akulah orang paling tegar di dunia. Aku yang
selalu ingin menunjukkan padanya kelak bahwa penantianku tidak akan sia-sia.
Aku rela dunia fantasiku diracuni oleh bayangan tentang dirinya. Dan aku
menikmati saat-saat merindukannya.
...........................................
Yogyakarta. Kota
Budaya, Kota Gudeg, Kota Pelajar. Impian terbesarku adalah bisa berpijak di
kota ini untuk beberapa waktu yang lama. Meski harus kembali merentangkan jarak
dengannya dan memilih jalan hidupku sendiri.
Aku
selalu dihantui perasaan bersalah kenapa aku tidak mengabulkan saja
permintaannya untuk pindah ke Salatiga, toh kami akan semakin dekat. Tapi
apalah artinya jarak bagiku, yah walaupun sekarang bisa dijadikan penyebab
utama masalah hati yang tak kunjung pulih. Aku berusaha tidak menyalahkannya,
menyalahkan waktu, menyalahkan jarak, atau menyalahkan kesempatan yang kubuang
percuma.
.....................................................................................................................
Tiba-tiba
Nessa mengejutkan lamunanku.
“Hayoooo!!!
Anak curut galau lagi yak... Hahahahaha”, tawanya.
“Yah
elah elu, Nes. Ada opo toh yo?”
Nessa. Sahabat yang
mengiringi kepergianku ke Yogyakarta. Sekarang jadi partner kuliah dan berhasil
mengubah suasana hatiku, dari low mode
jadi heart attack.
“Ora opo opo toh yo. Hahaha.”,
menjawab dengan bahasa Jawa yang sekenanya. Maklum penyesuaian dengan habitat
baru (bagi Nessa) yang notabene-nya orang Sunda, lintas budaya jadi Wong Jowo
meski sudah 3 tahun tinggal di Semarang. Tapi bahasa Jawa-nya masih belum fasih
beserta medok medok-nya.
“Ngelamunin opo toh, Neng Gelis?”,
lanjutnya seraya mencampur-sari bahasa.
“Mau tau aja apa mau tau banget?”
Hahahaha. KEPO lu ah. (KEPO = Knowing Every Particular Object).
“ Elaahh.. gue mah nanya doang,
malah dibilang KEPO. Lebih tepatnya gue pengen tau aja, emmmm..... seriously, masih kepincut sama Mr. R loe
itu yah, Mi?”
“Hah?”, tanyaku pura-pura tak
mendengar jelas perkataan Nessa yang sedikit mendesakku untuk berkata ...ya.
Jujur.
“Mi... “, lanjutnya.... “..kita kan
udah sahabatan dari SMP, gue kenal banget sifat loe dan gue tau semua kisah
percintaan loe yang sengaja dibikin rumit serumit benang kusut jahitan nenek
loe itu. Udah deh, Mi. Sampai kapan loe berkutat dengan bayang-bayang Raymond
yang gak jelas juntrungannya itu kemana. Liat sekarang. Loe masih bisa pijakin
kaki loe kan di tanah Jogja ini?”
“So? Apa masalahnya?”, tanyaku
heran, seolah-olah Nessa berusaha meyakinkanku untuk melakukan ritual ‘Move On’
yang pada akhirnya akan membuatku tersiksa lahir dan batin.
“So.... itu tandanya masih banyak
cowok-cowok yang kasep pisan di Jogja ini toh ndo.”, tuturnya.
“Wait..wait. Di Jogja mah kagak ada
tuh yang namanya kasep-kasep-an, yang ada malah cowoknya yang KASEP-IAN.”
“Yah elu sih udah berabad-abad masih
aja sampe ubanan, rontokan, buluan nungguin Ray. Mau mati bediri loe di sini?”
“Shut up! Cerewet banget sih loe
ah... suka-suka gue dong, toh gue juga yang ngerasain jatuh bangun buat
nungguin Ray. Dan gue yakin kalo someday
Ray bakalan balik ke gue, gimanapun caranya.”, sahutku optimis meski sebenarnya
ragu menyempitkan angan yang membara.
“Idiiih... si Eneng mah marah. Loe
kayak lagu Meggie Z aja ah pake jatuh
bangun segala.”
“Menurut buku yang gue baca.....
Cinta itu butuh pengorbanan.”, jawabku seadanya.
“Alaaah... Korban perasaan tuh
maksudnya.”, lirik Nessa padaku. “Paling juga musiman tuh, deket deket Idul
Adha ngorbanin sapi, kambing, kalo perlu unta sekalian tuh demi pujaan hati loe
itu. Hahahahaha.”tawanya.
“Sialan loe, Nes. Gak segitunya juga
kali.”
(sama-sama tertawa
kecil....)
Hari semakin sore, kami masih saja
bercanda tawa di pinggiran taman dekat kampus. Menunggu senja untuk kembali
pulang sebelum membereskan kamar kost yang baunya udah kayak kandang ayam
ditinggal berjam-jam.
“... mmm, Nes?”, panggilku pelan.
“Opo toh?”, sahut Nessa sambil
menghabiskan gorengan yang dibelinya.
“mmm... gue masih inget, dulu loe
pernah mau cerita sesuatu kan soal ....emmmmm... Ray, ke gue?”, tanyaku ragu.
Nessa pun berhenti mengunyah
gorengannya. Bak robot yang berhenti bergerak saat tombol remote ditekan.
Hening.
“Hey!”, ujarku seraya menepuk pundak
Nessa. “Loe gak apa-apa kan?”
Nessa kembali
mencoba mengunyah, walau kelihatannya sulit. Raut mukanya tiba-tiba saja
berubah serius seakan-akan ada sesuatu yang berat untuk dikatakan. Ya.
Kenyataan. Dan aku tak tahu apa yang selanjutkan akan ia utarakan padaku.
Penasaran, tapi takut untuk tahu, atau sekedar mencari tahu dan pura-pura gak
mau tahu. Setelah ini...
“Well... aku gak tau harus mulai
dari mana.” Ucap Nessa setengah pasrah setelah menghabiskan gorengannya yang
kurasa mengganjal tenggorokannya untuk berucap lagi. Ya. Minyak selalu
menghambat pembicaraan serius ini.
Aku menyodorkan air mineral untuknya
agar perbincangan ini jadi lebih lancar adanya dan tidak menyulitkanku untuk
bertanya lebih jauh lagi. Aku siap mendengarkan.
“Thanks.”, Nessa meneguk minuman
yang kusodorkan. “Kamu itu sebenernya bodoh, Mi.”, pandangannya serius dan
enggan menatapku. Hanya melihat tajam bangku taman di seberang sana. Kosong.
“What?
Maksud loe apa?”, tanyaku heran.
“Udah 2 tahun loe nunggu dalam
ketidakpastian. Hati.”
Aku terdiam. Rasanya
enggan mendengarkan kalimat selanjutnya.
“2 tahun yang lalu, gue liburan ke
Salatiga sama sepupu gue. Waktu itu gue dapet sms dari Ray buat ketemuan di
salah satu kafe. Entah kenapa gue kaget di sana dia malah datang bareng
seseorang yang gue gak kenal.”
“Seseorang? Siapa? Cewek?”, tanyaku
antusias.
“Emmmm.. wait.wait. jangan emosi
dulu, Neng.”sahutnya menyabarkanku, menatapku dengan tenang. “Iya... jenis
kelaminnya sih cewek. Awalnya gue pikir maybe...
maybe yah. Emmm... adek-nya atau....”
“Ray gak pernah punya adek
perempuan!”, sahutku tajam.
“Emm.. oke. Bukan adeknya, dan cewek
itu cuma berdiri di depan kafe dan cuma Ray yang nyamperin gue. Sendiri. Dan
itupun cuma sebentar, gak sampe 15 menit.”
“Udah deh! Gausah basa-basi! Langsung
ke point-nya aja! Ray ngomong apa sih ke loe, Nes?”
“Hemmm... Dia udah punya cewek, Mi.
Dia gak enak ngenalin ceweknya ke gue yang notabene-nya gue ini temen mantannya
yang parahnya lagi mantannya itu ... “
“Iya, gue.”, sahutku pasrah.
“Dan parah parah parah
separah-parahnya lagi ... dia minta sesuatu ama gue....”
Nessa menarik napas
pelan. “Dia minta gue buat ngomong sama loe, entah buat apa tapi...kayaknya
perihal hubungan dia, kamu, dan ‘dia’ yang satunya. Ya. Cinta segitiga. Dia
ngeluarin unek-uneknya dalam kurun waktu dan tempo yang sesingkat-singkatnya.
Yah kurang lebih 10 menit karena kayaknya tuh cewek udah kesemutan nungguin di
depan kafe. Entah karena banyak semut atau pegel pegel ditinggal beberapa menit
aja.”
“Duuuhhh... elu nih rumit banget sih
jadi manusia yak. Langsung ke intinya aja. Ray ngomong apa? Dia masih suka gak
ama gue?”, tanyaku tak sabar.
“Michelle kusayang, cintaku, hunny bunny sweetyku... Ray itu bukan
tipe cowok yang mudah menyatakan perasaannya ke cewek. Kalopun dia masih suka
sama loe, dia gak akan otomatis bilang sejujur-jujurnya.”
Aku terhenyak.
“Maybe.. masih ada rasa. I think.
Emang sih dia sekarang lagi sibuk kuliah dan pengen fokus. Kebetulan dia satu
kampus sama cewek itu. Dan intensitas ketemuannya lebih sering daripada
nungguin loe yang gak tau mijak tanah yang sebelah mana.”
“So, intinya dia udah punya cewek
dan anehnya lagi aku, dia, ya. Raymond, Michelle, masih saling........mikirin.
OH MY GOD! What the.............”
“Huuuuusssshhhh......come on, Girl. Slow...slow...slow..”
“Kenapa sih dia tuh selalu bikin
rumit? Bakalan jadi mudah kalo dia pindah ke Jogja trus nyamperin gue trus
ngajak gue balikan. Selesai kan ceritanya?”
“Ya gak semudah itu lah yaa.. Udah
deh, intinya dia masih mikirin loe meskipun nih dia udah punya cewek, yah
seengganya menemani kesepiannya aja sembari nunggu kapan dia bisa ketemu sama
loe yang gue juga gak tau abad ke-berapa kalian bisa ketemuan.” sahut Nessa
pasrah.
Aku gak ngerti kenapa harus
bergejolak dalam pikiran. CUMA pikiran. Entah kapan bisa jadi real. Imajiner kayak bilangan matematika. Dan gue benci itu. Entah ini
jadi kabar baik buat gue, atau nightmare. Cuma berharap dan kembali....
berpikir.
Untuk
dia yang selalu bersemayam di pikiranku.
..................
Kami
menyelesaikan perbincangan ini dan berlalu. Sore itu aku kembali berjalan ke
kost untuk beristirahat. Sepanjang jalan setapak, aku hanya merenung di tengah
senja, kapan bayangan ku di sepanjang jalan ini tidak sendirian lagi. Someday.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar