Chapter 8 Behind
Our Rain
Liburan semester hampir tiba,
semua ‘budak dosen’ ini pastinya sangat kegirangan karena tak perlu lagi harus
bersusah payah bangun pagi hanya untuk membersihkan teras depan gedung fakultas
masing-masing, mengumpulkan tugas makalah di pagi hari, bahkan menepati janji
pertemuan intern dengan dosen pembimbing atau hanya sekedar berjalan-jalan di
halaman kampus sambil memasang ‘antene’ kalau-kalau mendapati keberadaan sang
pujaan hati.
Seperti biasanya, aku selalu
berangkat pukul 6 pagi dan tiba di kampus 15 menit kemudian. Entah mengapa ‘jam
biologis’ ku terasa kacau semenjak mengubah status menjadi ‘mahasiswa’. Siklus
bangun pagi, makan, tidur pun menjadi lebih singkat dan seperti dikejar bom
waktu. Ini yang selalu membuat napasku jadi tidak teratur selama perjalanan.
Sulit bagiku menemukan saat yang tepat untuk kembali.... tenang. Tanpa dijejali
ribuan tugas dan jadwal yang tak lazim bagiku.
...............................................................................
Kembali ke kost dengan barang
bawaan yang begitu banyak, dengan wajah lelah seperti habis bertarung melawan
penghuni suaka margasatwa. Mirip Mama. Maksudku wajah lelahnya. Hanya saja Mama
akan menampilkan wajah lelahnya setelah kembali dari pasar dengan barang bawaan
sayur mayur beserta ‘amunisi’ dapurnya. Amunisiku? Buku-buku, makalah, ATK,
novel galau, referensi dari dosen, laptop, dan tentu saja...handphone. Hartaku yang paling berharga.
Ketinggalan handphone serasa
ketinggalan 1 dari 9 nyawa.
Mandi. Ritual paling menyegarkan
sepanjang abad perjalanan hidupku. Sangat ampuh membasmi kuman seperti yang
disebutkan banyak iklan di televisi. Mandi adalah satu dari sekian banyak cara
untuk kembali “sadar” (maksudku “segar”). Tapi ada yang lebih “sadar” selain mandi
dengan cara yang biasa, mengguyur dari bak ataupun shower-an. Mandi hujan.
Entah kenapa air hujan terasa
lebih segar ketimbang air dari bak ataupun air dari shower. Padahal air
dimana-mana ya sama saja. Toh jatuh dari tempat yang tinggi (sebut: langit) ke
tempat yang lebih rendah. Tapi air hujan kali ini berbeda. Langsung dari Sang
Penumpah di atas langit sana. Bagaimanapun caranya untuk bisa merasakan air
hujan, sengaja atau tidak sengaja. Ada sensasi yang berbeda.
..............
Aku
berjalan keluar dari kamar mandi seraya mengeringkan rambutku dengan handuk
menuju jendela kamarku yang terkunci rapat. Namun masih bisa kulihat awan di
atas sana terlihat menghitam. Kalau saja aku tahu hari ini akan hujan, aku
tidak akan mengambil keputusan begitu cepat untuk mandi. Ya. Ingin mandi hujan.
Aku
membuat cokelat panas dan menyeruputnya sambil duduk di pinggiran jendela hanya
untuk sekedar merenung apa yang terjadi di luar sana. Menunggu hujan sore ini.
Entah kenapa hidupku selalu diisi dengan aktivitas menunggu yang sebenarnya
membuang-buang waktu namun aku menikmatinya. Aku rela menghabiskan beberapa
menit hanya untuk menuntaskan fantasiku dengan air hujan. Indah.
.... tiba-tiba nada pesan masuk mengagetkanku...
RAYMOND
“Hai. Long time no see. Aku
sekarang ada di Jogja, aku pengen ketemu kamu sore ini.”
....
Apa? Apa aku salah baca atau
mataku mulai terganggu kesehatannya karena efek tekanan batin atau.... atau....
ya. Benar. Ini nyata. Raymond. Tapi kenapa? Kenapa tiba-tiba seperti ini?
“Kenapa tiba-tiba mau ketemu
aku? Penting?”, balasku sok ketus.
Sedikit deg-degan
menunggu balasannya, mungkin saja dia marah atau malah kembali berbasa-basi.
“Iya.
Penting. Kangen. Kamu dimana?”
Apa?
Kangen? Bisa-bisanya dia berkata begitu. Gugup melanda batinku, sangat kikuk,
dia ingin bertemu denganku. Sejenak kulihat ke arah jendela, awan masih
menghitam. Belum juga hujan. Semoga saja hujan ini bisa ditunda dulu sampai
pertemuan kami tiba. Kuharap begitu.
“Kost
putri dekat UGM. Pandega Karya 21.”
“10
menit lagi. Tunggu aku di depan kost.”
.....
Segera
aku menyisir rambutku yang hampir kering, beranjak keluar menuju teras. Sengaja
aku duduk di kursi halaman depan, menandakan aku yang lelah menunggu. Menunggu
orang yang faktanya baru sadar bahwa aku selalu menunggunya. 10 menit menjadi
biasa saja bagiku, namun aku mencoba tetap dalam kondisi sabar. Sabar Menunggu,
seperti nama warung kaki lima yang di ujung jalan Kaliurang.
Tak
lama kulihat seseorang dengan perawakan tinggi, mengenakan jaket army
dan...muka tirusnya. Sosok yang sangat aku kenal. Ray menuruni kendaraannya dan
berdiri di depan pagar. Aku menyambutnya dengan sedikit gerakan tanpa bahasa,
berjalan ke arahnya dan membukakan pagar.
Ia
tersenyum.
Aku
hanya bisa membalas dengan senyuman pula. Kami berjalan beriringan menuju
teras. Sampai. Dan duduk berhadapan. Tanpa kata sedikitpun.
“Kok
diam? Ada yang aneh ya?”, tanyanya sengaja membuka pembicaraan yang terasa
dingin ini.
“Oh,
emm... gak apa-apa.”, jawabku seadanya.
Aku kembali terhenyak.
“Emmm..
KAMU......”, serentak. Kami mengucapkan kalimat bersamaan dan terhenti, enggan
melanjutkan. Tanda saling memberi kesempatan siapa yang ingin bicara duluan.
“Kamu
aja duluan...”, sahutnya.
“Gak.
Kamu aja dulu deh.”, ucapku mempersilakan,
“Emmm..
maaf ya, Mi. Mungkin aku sedikit ganggu kamu.”
“Gak
apa-apa kok. Kebetulan aku juga lagi gak ada kerjaan di kost.”
“Kamu
gak kaget aku tiba-tiba datang gini?”, tanyanya heran.
Sejenak aku berpikir, bagaimana
mungkin aku mati gaya di hadapan orang yang aku kutunggu selama ini. Seketika
saat dia datang mestinya aku menyambutnya dengan tawa bahagia, tapi entah
kenapa rasanya aku enggan ingin melebarkan senyuman sedikit saja. Mungkinkah
aku yang memang sudah terlalu lelah hingga aku merasa ini akan menjadi akhir
dari penantianku. Pertemuan ini yang kuharapkan namun aku siap untuk bersedih
lagi saat harus berpisah setelah pertemuan ini yang aku tak tahu dalam durasi
berapa lama. Selama yang dia inginkan.
“Emm.. emangnya kamu mau ngapain
ke Jogja?”, tanyaku seadanya.
“Kebetulan aku ada tugas kampus
yang bikin aku harus nyari referensi buku. Di Salatiga gak ada toko buku yang
memadai, kalopun ada, persediaannya kurang lengkap. Denger-denger kamu ada di
Jogja, makanya aku ke sini sekalian pengen ketemu kamu.”, jawabnya seolah-olah
logis namun menyembunyikan maksud sebenarnya.
“Kenapa gak ke Semarang aja? Toh
Salatiga-Semarang kan lebih dekat, lumayan hemat ongkos PP.”, tanyaku heran.
Ia pun terdiam.....
“Emm...
..”
Awan
semakin menghitam saja, air dari langit turun perlahan... dan semakin deras.
Ya.
Raymond dan hujan tidak bisa dipisahkan. Hampir saja kubuat plesetan namanya
menjadi Rain-mond. Walaupun sebenarnya ‘Ray’ adalah cahaya, tapi dia tidak
sehangat namanya. Pembawaannya yang dingin lebih cocok jika disandingkan dengan
hujan.
“Aku
kangen kamu.”, jawabnya pelan, hampir sulit kumendengarnya karena bersaing
dengan suara hujan.
Sontak
aku berdiri dan menatap sinis padanya. Bisa-bisanya dia bicara begitu. Kangen?
Padaku? Aku bukan siapa-siapa baginya. Aku hanya...... hanya aku saja yang
terlalu berharap. Meski memang aku mengharapkan kata itu keluar dari mulutnya
sendiri.
Aku
melangkah ke tepian dan mengalihkan pandangan. Menatap hujan yang sedang turun,
menadahkan tangan seolah-olah ingin menampung ribuan tetes air yang jatuh, tapi
tak bisa. Selalu saja tumpah dan jatuh ke tanah. Sama seperti rasa rindu yang
kucoba tampung, tapi kali ini tumpah juga.
“Aku....
aku lebih kangen lagi.”, jawabku pelan.
Kami pun terdiam.
Wait.
Sejak kapan aku katakan “kami”? Tidak ada kata “kami” di antara kita. Cuma kamu
dan aku. Kebersamaan ini tidak sepatutnya disebut “kami”. Kalau di antara
“kami” ada “dia”.
“Jadi..kamu
ke sini cuma mau bilang itu aja?”, lanjutku.
Ray menghela napas sejenak.
“Yaa..
aku pengen ketemu kamu aja. Udah lama banget.”
“Ke
sini sendirian aja?....”, tanyaku lirih. “...cewekmu mana?”
Ray menundukkan kepala seraya menggenggam erat
kedua tangannnya. Membuang muka. Sedikit resah dengan pertanyaanku.
“Di
Salatiga.”
....
“Udah
berapa lama kalian pacaran?”.
“Baru
2 bulan.”
Perbincangan ini mungkin terasa menyayat hati,
tapi aku hanya ingin tahu. Seolah-olah aku ingin membanding-bandingkan mana yang
lebih membuat Ray merasa bahagia.
“Cantik
ya? Orang mana?”, tanyaku lagi.
“Orang
Jawa juga. Yah, lumayan. Mukanya mirip kamu, Mi.”
Bisa-bisanya
dia berburu wanita yang wajahnya mirip denganku. Faktanya aku adalah aku. Tak
bisa disama-samakan dengan gadis itu sekalipun wajah kami mirip. Dan aku tak
suka disama-samakan.
“Kok
bisa? Ketemu dimana?”, tanyaku lirih.
“Ya
bisa lah....”, Ray bangkit berdiri mendekatiku. Menepi dan memandangi hujan.
“... pertama kali aku ketemu sama dia di depan asrama putra. Kebetulan dia lagi
nganterin makan siang buat sepupunya, yaa..dari situ aku mulai kenal dia.
Orangnya ramah lingkungan...”
Iya.
Udah kayak mesin kendaraan aja, ramah lingkungan. Semakin banyak aku bertanya,
semakin menunjukkan kecemburuanku. Tapi entah apa yang ingin dibahas saat
pembicaraan dingin seperti ini. Gadis itu seolah-olah membayang-bayangi
pikiranku. Membuatku semakin takut saat Ray membuat pilihan yang salah
(bagiku).
“Oohh...
baguslah.”
“Kenapa?
Cemburu?”, ejeknya dan langsung menatapku.
Melawan perasaan. Aku menatapnya balik, “Biasa
aja”, jawabku lirih.
Terdiam. Hujan semakin lebat. Saat yang tepat
untuk menari dalam kegalauan batin. Ray sangat pandai membuatku terdiam. Mati
gaya di hadapannya.
“Banyak
masalah dengan cewek kayak dia...”, lanjutnya.
“Masalah?”
“Iya...
dia itu terlalu serius. Semuanya dianggap serius. Gak kayak kamu, periang. Bisa
diajak becanda. Brasa selalu salah di matanya.”
Oh
jadi sekarang buka sesi CurCol (Curhat Colongan) antara dia dan dia yang
satunya lagi. Aku hanya jadi pendengar yang baik. Entah aku akan senang setelah
mendengar dia bermasalah dengan dia yang satunya lagi.
“Loh,
bukannya bagus? Bisa semakin diajak serius. Love
is not a game. Jangan dibuat mainan.”
“Hahaha..
kamu tau aja aku suka main game...”, candanya.
“Harvest-Moon.”
“Banget.
Hahaa.”
“Apa
sih yang aku gak tau....tentang kamu.”, banggaku.
“....dan
cuma kamu yang ngerti aku.”, lanjutnya.
Ray menggengam tanganku, keduanya. Menatapku
tajam seolah-olah tak ingin melepasku. Lagi.
“Selesaikan
dulu urusan hati kamu sama dia. Aku gak mau jadi perantara.”
“Aku
di sini sampai hari Sabtu. Masih pengen ketemu kamu lagi. Tunggu aku.”, katanya
penuh harap.
Masih saja hujan. Seolah-olah
tak ingin ia segera pulang. Masih ingin ia berada di sini. Menghabiskan sisa
rindu yang tadinya sempat tumpah, tak sengaja tumpah. Bukan suatu kebetulan
aku, dia, dan hujan berada di sini. Seperti mimpi. Aku melepasnya untuk sebuah
pilihan. Terima kasih, hujan.
.......
Seketika
reda dan melepas genggamannya dengan senyuman. Perpisahan itu harus terjadi.
Lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar