Cari Blog Ini

Selasa, 07 Mei 2013

Chapter 4-6


Chapter 4 Watch Out!

    Pukul 03.48 PM.
    “Dah siap?”, tanya Efron yang menungguku sekitar 4 menit yang lalu.
    Huuuhh.. Aku menarik nafas. Petualanganku akan segera dimulai. Rumah misteri, kami dataaaaaannggg!!!
    “Ya. I think so.”
    “Yang semangat dong! Kakak udah membara nih pengen memecahkan misteri ini! Masa muka Ade pasrah gitu? Bukannya Ade yang punya ide ke sana?”, katanya sambil mengacak-acak rambutku.
    “Aaaaaahh.. Doraemon! Iya, iya.. aku semangat! Chayo, brot!”, kataku tersenyum.
    “Apa? Dasar kau ini! Cathy Sarung !(maksudnya Cathy Saron, tapi dia mencoba membuat plesetannya).”, balasnya.
    Dari belakang Mama mengagetkanku.
    “Aduuuhh.. kalian ini mau kemana sih? Pake ribut segala..”, tanya Mama.
    “Eeeehh.. Tante! Kami mau jalan santai, sore-sore keliling perumahan sini. Boleh `kan, tante?”, kata Efron berusaha meyakinkan Mama sambil tangannya merangkul bahuku dan tersenyum.
     “Iya..iya.. boleh kog! Tapi.. kenapa tadi tante dengar ada yang mau memecahkan misteri?”, tanya Mama penasaran.
     “Ngggg..”, Efron kebingungan mencari alasan supaya tujuan kami tidak ketahuan Mama.
     “He-eh.. Kami sekalian mau liat-liat rumah yang di ujung jalan situ tuh Ma. Dari kemaren penasaran, ada yang punya ga yah?”, kataku jujur seraya melepaskan tangan Efron dari pundakku.
     Terlihat bola mata Efron melotot ke arahku, sepertinya ada yang salah kuucapkan. Efron sepertinya tidak ingin Mamaku tau tentang petualangan kami karena pasti Mamaku akan bilang soal ini dengan Mamanya. Mama Efron selalu saja khawatiran.
    Mama terdiam dan..
    “Rumah No.666 di Kembang Sari itu `kan?”. Kami mengangguk. “Sebenarnya Mama juga rada penasaran soalnya setau Mama, rumah itu sudah dijual beberapa tahun yang lalu karena pemiliknya meninggal. Dulu rumah itu punya seorang kakek tua, namanya Sutrisno. Tapi beliau meninggal, katanya karena sakit dan tidak ada yang mengurusinya, semua anggota keluarganya tidak ada yang tahu berada dimana. Sampai sekarang Mama juga bingung, bagaimana nasib rumah sebesar itu? Orang-orang sekitar sini juga  banyak yang mempertanyakan.   
   Kabarnya, di rumah itu masih tersimpan surat wasiat dan warisan yang belum ditemukan. Saking besarnya, pernah ada salah satu warga yang mencoba mencari harta itu tapi tak ketemu juga. Cerita sekembalinya dari sana, banyak sekali jalan  rahasia yang kadang membuat orang kebingungan berada di dalam rumah itu. Mama harap kalian berdua hati-hati, syukur-syukur kalau kalian bisa menemukan surat wasiat tersebut dan menyerahkannya kepada yang berwajib supaya diamankan. Karena besok lusa rumah itu akan dihancurkan dan dibangun sebuah ruko oleh salah seorang pedagang kain dari India. Begitu yang Mama dengar dari warga sekitar.”
   “Kedengarannya menarik tuh!”, kataku. “Semoga aja..”
     Menurutku ada untungnya juga tadi udah jujur. Berkat kejujuranku, beberapa informasi kudapat yang memudahkan misi kecil-kecilan ini.
   “Okelah tante. Makasih infonya. Mimi aku pinjam dulu yah Tante. Aku janji! Mimi aman bersamaku”, kata Efron sambil menarik tanganku dan.. pergi.
   “Dadaaahh Mama!”, kami pun berlari-lari kecil. Santai.
   Menyusuri jalan setapak... Jalan Kembang Sari belok kiri..
   “Ade yakin mau ke masuk ke rumah itu dan nyari tuh wasiat?”, tanya Efron.
   “Yakin 100%.. Ini dah keputusan terakhirku. Kita harus siap!”
   “OK. Kalo Ade siap, Kakak juga. Apapun resikonya, kita tetap ngejalaninya bareng-bareng!”, katanya sambil memegang telapak tanganku. Rumah itu sudah terlihat. Kami pun perlahan-lahan memasuki daerah yang sepi itu. Sunyi. Tak ada orang. Jauh dari keramaian.
   Terlihat pagar usang yang hampir hancur. Ada sebuah kotak surat di pingirnya yang bertuliskan Mr. Sutrisno. Kami pun menggeser pagarnya dan mencoba masuk. Tampak halaman yang gersang dan tanaman-tanaman yang sudah layu.
   “Hmmm.. seperti habis diinjak.”, kataku sambil mengamati rumput-rumput itu.
   “Iya.. apa ada orang lain yang masuk ke rumah ini?”, tanya Efron.
   “Entahlah. Tujuan utama kita cuma ingin menemukan wasiat itu. Tidak lebih. Kalaupun dapat, yah syukur.”
   “Yaa.. But I think, it`s not a good idea!”, kata Efron tak yakin.
   Oh, come on, bro! Kita lakukan bersama-sama.”, kataku berusaha meyakinkannya.
    Kami pun mencoba mendekati pelatarannya. Pintu yang sudah menjadi sarang laba-laba dan kaca jendela yang pecah. Huuuh... ini yang dinamakan pencarian sang petualang. Lantainya sudah berlumut.
    “Sepertinya bel ini rusak. Kabelnya sudah putus.”, kata Efron sambil mengecek bel listrik itu.
    “Hey, untuk apa Kakak ngotak-atik tuh bel? Kita `kan kaga perlu pake acara nge-bel segala. Masuk aja. Toh pintunya ga dikunci.”, kataku kesal.
    “Aduuuh, Anak cantik. Gini-gini kita juga mesti ada sopan santun dong! Lagian ini `kan rumah orang. Paling ngga kita ngetok dulu kek, permisi dulu kek. Emang Ade mau yang punya rumah bangkit dari kubur?”
    “Yaaa.. ga gitu juga sih.”
    Dengan perlahan kami membuka pintu itu dari luar dan mencoba masuk. Langkah kami tiba-tiba terhenti saat melihat betapa besarnya rumah itu.
    “Waaaaaww!!! Gede amat!”, seruku kagum.
    “Pantesan orang bisa kesasar di rumah segede ini. Istana Presiden aja kalah. Hartanya pasti melimpah.”, sahut Efron menambahi.
    “Pantes tuh orang-orang pada berlomba menemukan wasiat itu. Lokasinya aja gede, apalagi isinya. Uuuu fantastico!!!”.
     Menarik nafas. Mungkin sedikit gugup. Kami mulai kebingungan harus kemana. “Kak, kita atur strategi. Langkah pertama, kita udah masuk. Apa selanjutnya kita berpencar aja?”, tanyaku.
    “Menurutku entar dulu deh. Aku takut ninggalin Ade sendirian. Siapa tau aja `kan nanti Ade kenapa-napa, terus siapa yang mau nolongin? Kakak punya tanggung jawab besar atas Ade karena Kakak yang minta izin sama Mamanya Ade. Jadi, Ade jangan jauh-jauh ya dari Kakak.”
    Aku mengangguk. Okelah, kali ini kudengarkan kata-katanya. Kami memulai pencarian. Pasang mata, pasang telinga, pasang... (pasang apa lagi ya?), pasang kaki untuk mengatur langkah.
    Di depan kami terlihat tangga yang panjang, sepertinya menuju ke lantai atas. Di sebelahnya nampak sebuah pohon pinus dengan pot yang besar. Di bagian kiri dan kanan terdapat lorong. Keadaan rumah memang agak gelap. Penerangan cuma didapat dari lampu senter yang kubawa diam-diam dari rumah. Kami bingung harus ke mana dulu. Baru kusadar kami menginjak karpet merah yang berdebu. Tapi aku merasakan sesuatu. Aku terus menginjak-injak lantainya.
    “Kak, sepertinya ada sesuatu di bawah karpet ini?”, tanyaku penasaran.
    “Hah? Coba kulihat!”, Efron langsung menarik karpet itu dan membukanya. Tampak lantai kayu yang reot dan... “Lihat! Ada gagang pintu!”. Efron langsung menariknya dan terbukalah.
    “Waaaww.. sepertinya ada ruangan rahasia di bagian depan ini. Akankah kita masuk?”, tanyaku sambil mengamati lorong gelap yang menuju ke basement.
    “Mungkin. Di bawah pasti ada ruang bawah tanah. Tapi.. kita sama sekali belum menyusuri bagian atas rumah ini. Bagaimana mungkin kita ke bawah sana?”
    “Aku juga ga tau. Up or down?”, kataku bingung.
    “OK. Listen to me! Sebelumnya mereka pasti tersesat, tapi kita tidak boleh. Kita harus bisa keluar dari sini dengan selamat, sama seperti kita masuk. Kita harus menggunakan ingatan! Jangan sampai lupa dengan setiap jalan yang kita lalui. Kurasa... ini akan jadi petualangan yang panjang. Pakai nalurimu! ”, jelas Efron. “Menurut naluri Ade, kita harus kemana?”
    “...mmm.. kurasa ke bawah. Ga tau kenapa perasaanku mengatakan kita harus ke bawah. Sesuatu yang misteri pasti diawali dengan sesuatu yang rahasia. Di mana lagi kita bisa dapatkan yang penuh rahasia kalau bukan di bawah sana?”, kataku sambil menunjuk ke arah lorong yang gelap itu. “Toh ga semua orang `kan bisa tau ada ruangan lain di bawah karpet merah ini?”
    Smartgirl !!! Ya. Ade benar. Oke. Kakak turun duluan. Pegang senternya!”, pinta Efron sambil melompat ke bawah.
    Are u alright?”, tanyaku.
    “Yiipyy.. Mungkin di sini cuma agak ... Hwaaaaaaaaachhhiiiiiiiimmm..Ssssssrrrrtt... kotor!!!”, Efron langsung bersin karena begitu banyak debu yang beterbangan. “Yaa.. Ade bisa turun sekarang, tapi hati-hati yaa!”
    “Oke.”, akupun turun dan menutup pintu lantainya.
    Banyak tikus, laba-laba, kecoak... Iiiuuuuhhh!!! Tapi tidak menyusutkan keinginan kami untuk menyusuri lorong ini. Kami terus berjalan dengan pelan dan hati-hati.
    “Haaa.. Mungkin ini seperti film-film action di tv. Atau... serial Conan, Scobby Doo dan .. bla bla bla. Darknight.”, ujar Efron.
    “Yeah. Itu `kan keren..”, sahutku.
    “Tapi.. akan jauh lebih keren kalau kita dapatkan wasiat itu. Benar `kan?”, tanyanya lagi.
    Aku tak menanggapinya dan terdiam. Aku tercengang melihat di depan kami ada sebuah pintu besar.
   “Cel! Helooo...”, teriak Efron. “Liat apa De?”
   “Ennggggg.... Heee.. Ada itu! Pintu lagi!”
   “Kalo ada pintu yaa masuk donk.”, katanya sambil menerangi pintu itu dengan senter dan.. ada tulisan `Stupefy`. Aku tak tau itu dari bahasa apa tapi sepertinya dirahasiakan.
   “`Stupefy`?”, tanyanya bingung.
   Aku berusaha menjawab, “Hmmm.. mungkin sebuah nama atau apalah...”
  “Atau sebuah mantera?”, katanya lagi.
  “Entahlah. Sepertinya dikunci. Bagaimana kita masuk? Ga mungkin `kan kita balik ke atas lagi?”
  “Tunggu!”, seru Efron. “Sepertinya ada yang lain.”
  Dia melihat sebuah tulisan kecil di dekat pintu itu, dengan bahasa Perancis.
  “Apa artinya?”, tanyaku penasaran. “Di sini tidak ada yang bisa bahasa Perancis `kan?
  “Mungkin aku bisa.”, kata Efron berusaha menerjemahkannya. “Emmm.. dulu aku pernah belajar bahasa Perancis dengan salah seorang kerabat Nenekku. Kuharap ini berhasil.”
  Hanya sebentar saja, “mmm... katanya : telapak tangan terbuka, yang satu di atas dan yang lain di bawah. Selalu berputar seperti pada waktunya.”.
   “Apa maksudnya?”, tanyaku bingung.
   “Mungkin... kita harus meletakkan telapak tangan di salah satu bagian pintu ini.”
   “Tapi di bagian yang mana?”
   “Entahlah.”, Efron berusaha meraba pintu itu. “Pintu ini sepertinya tertutup pasir.” dan.. “Dapat!”, serunya. “Coba Ade letakkan telapak tangan Ade di sini. Dan Kakak di bawahnya.”, aku mengikuti suruhannya.
   “Terus?”
   “Mmmm.. sepertinya terbalik. Efron mencoba lagi, membalikkan arah telapak tangannya. Tapi tidak terjadi apa-apa.
   “Pintunya masih tertutup. Aku masih bingung dengan “selalu berputar pada waktunya..”. Apa ada yang lain?”
   “Ya. Itu dia! Mungkin kita harus memutarnya.”
   “Tapi ke arah yang mana?”
   “Emmm.. kira-kira benda apa yang selalu berputar pada waktunya?”
   “Haaaa... JAM DINDING !!!”, seru kami serempak. “Ya, jarum jam selalu berputar sesuai waktunya. Kita hanya perlu memutar telapak tangan searah jarum jam.”, tambahku.
   Kami pun melakukannya sesuai instruksi. Pintu itu akhirnya terbuka.
   “Yap, got it! Kita berhasil !!!, sahut Efron.
   Penelusuran dilanjutkan. Kini tampak sebuah ruang perpustakaan yang besar di hadapan kami. Penuh dengan rak-rak buku yang masih utuh dan buku-buku yang tersimpan rapi.
   “Apa ini? A library?”, tanya Efron kaget. “Hey, hey.. Artistik sekali, dindingnya, lukisannya!!!”, Efron langsung membongkar rak-rak berdebu itu dan mencari-cari buku.
   Ya. Memang. Ruangan dengan desain yang artistik tapi... tetap saja rahasia. “Kakak yakin ingin menghabiskan waktu di sini? Membaca semua buku-buku ini dan melupakan tujuan kita kemari?”, kataku sambil mengambil buku yang dibacanya.
   “He-eeh... Ga ada salahnya `kan baca bentar? Lagian kita juga ga pernah ke sini. Ini kesempatan yang langka. Bukannya Ade jawara kelas? Masa sama sekali ga ada minat baca buku? Kata orang, buku itu ilmu. Dan ilmu itu harta yang tak ternilai harganya.”, jelas Efron seraya merebut kembali buku yang kuambil dari tangannya.
   “Heh, Kak. Jangan bawa-bawa nama jawara kelas dong! Kupikir ini bukan saat yang tepat, ini cuma akan membuang-buang waktu aja. Ingat Kak, waktu kita sedikit! Kurasa ini udah malem.
   Efron tak menghiraukanku. Dia masih sibuk membaca, kulihat hanya ada anggukan kepala saja. Sampai kami terus berjalan ke arah rak yang paling ujung.
   “De, kupikir ini bukan hal yang sia-sia...”, kata Efron sambil dia mengambil sebuah buku. “Dapat!.. mungkin kita perlu ini.”, serunya menyodorkan buku itu padaku. Tertulis di halaman depan, ini milik Mr.Sutrisno. Keadaan buku itu terlihat usang, halamannya banyak yang hilang. Tapi bagian tengahnya masih utuh. Buku itu ditulis dengan bahasa yang puitis.
   Aku terus membuka-buka buku itu sampai di halaman tengah. Tiba-tiba kurasakan bibir Efron mendekati daun telingaku dan berbisik, “Kamu tau satu hal?”. Aku hanya berani melirik dan menggelengkan kepala.
   “Te Amo...”, katanya pelan.
   Te Amo dalam bahasa Perancis, artinya “Aku Cinta Kamu”. Sama dengan “Sarang Heyo”(Korea Selatan), “Ich Liebe Dich”(Belanda) atau yang dikenal dengan “I Love You”.
   “What? Impossible..”, kataku tak percaya dan memalingkan pandanganku dari hadapannya. Aku mengalihkan perhatianku pada buku yang barusan kubaca.
   Efron terus mendekatiku dan bicara, “Aku serius. Aku ga mau sekedar jadi kakak untukmu. Perasaan ini terlalu dalam. Kamu segalanya untukku.. Trust me!”.
   “Tapi kenapa harus aku? Kenapa bukan orang lain?”
   “Karena.. kamu beda dari yang lain. So different! It`s yourself.”
   “... mungkin aku perlu waktu untuk berpikir. Apa kamu bisa mengisi hatiku, tapi yang pasti untuk sekarang kamu tetap seorang kakak untukku. Dan misi kita masih berlanjut `kan?, jelasku sabar menghadapinya.
   “Hmmm.. right! Aku tunggu. Kuharap kamu bisa kasih jawaban yang tepat di saatnya nanti. Yaa.. untuk sekarang aku akan coba jadi kakak yang terbaik untuk... Adeku yang cantik ini. Hahahahahaaaa..”
   “Bagus deh.”, aku masih terus membaca sampai kutemukan di halaman 86 sebuah tulisan yang kurasa memberi petunjuk. “Kak, coba liat deh!”, kataku sambil menyodorkan buku itu.
   “Ehhhmmm... Di sini ditulis, `harta yang paling terindah. Milikku dan tak ada duanya. Tersimpan rapi hingga akhir hayatku. Keras seperti batu, dingin seperti es, berkilau seperti bintang di langit..`.”
   “Apa yang dimaksudkannya itu.. berlian?”, tanyaku.
   “Mungkin...tapi tidak akan menjadi mungkin kalau kita terus mencari.”
   “Setahuku.. orang dulu memang senang menyimpan barang berharganya di suatu tempat yang rahasia bahkan ada yang sampai mengubur hartanya di dalam makam.”, jelasku. “Yaa.. tapi dimana kita bisa menemukan hartanya itu?”
   “Hmmm.. entahlah. Yang jelas di suatu tempat yang sulit ditemukan orang asing. Tempat yang rahasia dan...”
   “Penuh misteri.”, tambahku. “Di mana lagi kita bisa dapatkan itu kalau bukan di bawah tanah? Toh berlian itu `kan hasil tambang.”
   “Bisa aja. Tapi kita udah di basement. Apa mungkin ada ruangan lain selain perpustakaan rahasia ini?”
   Aku mengelilingi perpustakaan itu dan... mendekati sebuah lemari kecil. Kulihat ada foto keluarga di atasnya. Sepertinya keluarga Mr. Sutrisno.
   “Pasti ada petunjuk lain di sekitar sini.”, ujarku mantap. Aku langsung membuka semua laci mencari dokumen-dokumen penting yang kuharap salah satunya adalah wasiat itu.
  
Chapter 5 Confession

Sementara itu di rumahku...
   Tiiiiinggg... Toooooonggg!!!
   Pukul 07.35 PM. Suara bel dan ketukan pintu.
   Mama segera berlari dari dapur dan membukakan pintu.
   “Permisi, Tante.”, kata seorang pria muda yang mengenakan kaos putih ditutupi jaket army dan celana jeans panjang.
   “Raymond?”, tanya Mama.
   “Iya, Tante. Mmmm.... Michelle-nya ada?”
   “Ehhmmm.. sekitar beberapa jam yang lalu Mimi pergi jalan-jalan keliling perumahan sini.”
   “Kog sampe malem? Sendiri ya, Tante?”
   “O-ohh.. Ngga. Dia tadi perginya sama Efron.”
   “Efron?”, tanya Ray kaget.
   Sejak SMA, Ray dan Efron bersahabat tapi tidak cukup akrab.
   “Sudah ada janji ya, sama Mimi?”, tanya Mama lagi.
   “Belum sih, Tante.”
   “Mau nunggu?”
   “Yhaa.. bolehlah.”
   “Ayo, masuk.”, kata Mama dan menyuruhnya duduk di ruang tamu.
   “Nak Ray, kapan datang?, tanya Mama mengajaknya ngobrol.
   “Baru kemaren siang kog, Tante.”
   “Sekarang kuliah di mana?”
   “Di UKSW Salatiga, Sastra Inggris.”
   “Waahh.. hebat juga yaa. Lama nih Tante ga ketemu kamu lagi. Ternyata ga ada yang berubah ya!”
  “Heee...
   Mmm... ngomong-ngomong, Mimi-nya ada urusan apa sih keliling perumahan sampe malem gini?”
    “Mimi itu anaknya ga bisa diam. Sukaaaa banget kesana kemari. Sebenarnya dia itu lagi ada misi sama Efron.”
    “Misi? Misi apa, Tante?”, tanya Ray bingung.
    “Itu lho... mereka berdua penasaran sama rumah No.666 di Jalan Kembang Sari itu...”, Mama pun menceritakan dengan jelas misi kami.
   
    Sementara itu keadaan di rumah Mr.Sutrisno...
   “De, kayaknya kita terlalu lancang membongkar lemari ini tanpa seizin pemiliknya.”, kata Efron.
   Aku terus mencari dan tak menghiraukan perkataan Efron. Sampai kutemukan sebuah keris.
   “Apa ini?”, tanyaku kaget.
   “Coba kulihat!”, seru Efron mengambilnya dari genggamanku. “Aroma pinus...”, katanya setelah membaui keris itu.
   “Pinus? Jangan-jangan...”
   “Apa ada hubungannya dengan....”
   “Pinus di sebelah tangga !!!!”, seru kami serempak.
   Tanpa basa-basi kami langsung berlari mencoba kembali ke lorong tempat kami masuk tadi. Sesampainya di sana...
   “Kita ga bisa naik ke atas!”, seruku.
   “Tunggu! Aku segera kembali.”. Efron kembali berlari ke arah perpustakaan itu dan mencari sesuatu. Entah apa yang dia cari tapi sekembalinya dari sana dia membawa tali tambang.
   “Darimana Kakak dapat itu?”, tanyaku.
   “Huuuuhh.. sewaktu kita masuk tadi, Kakak ada liat tali di atas lemari globe. Untung Kakak masih ingat. Ayo naik!”.
   Kami berdua pun memanjat ke lantai atas dengan tali itu. Menutup pintu lorong dan berlari menuju pohon pinus di sebelah tangga. Tanpa disadari keris itu masih melekat dalam genggaman Efron. Dia membaui keris itu sekali lagi. Mencocokannya dengan pinus di sebelah tangga.
   “Sama?”, tanyaku.
   “Selain aroma pinus, aku mencium bau tanah.”


Sementara itu masih di rumahku...
   “Aku belum pernah dengar lelucon ini.”, kata Ray tak percaya.
   “Nak Ray masih belum percaya? Ini bukan sekedar isapan jempol lho. Kemisterian rumah itu sudah banyak dibuktikan para warga sini.”
   “Tapi... kog Mimi mau-maunya sih ke rumah itu! Dia `kan cewek. Masa cewek malem-malem gini keluar rumah?”
   “Ga apa-apa kog, Ray. Tante udah percayakan keamanan Mimi sama Efron. Dia anak yang baik kog.”
   “Yaaa.. tapi kalo terjadi apa-apa sama Mimi gimana, Tante?”
   “Awalnya Tante juga khawatir, tapi... Nak Efron dah janji sama Tante bakal ngejagain Mimi.”
   “Kenapa harus Efron sih?’
   “Kenapa Ray? Kamu cemburu?”
   “Ng.... Ngga kog, Tante! Kenapa Tante ngomong gitu?”
   “Hahahaaaahhaaa... Ngga apa “ngga” ?”
   “Beneran kog, Tante. Idiiiiihh.. ngapain juga! Aku sama Mimi `kan udah ga ada hubungan apa-apa lagi. Jadi aku mohon sama Tante, jangan ungkit-ungkit soal itu lagi ya..”
   “Yeee.. siapa juga yang ungkit-ungkit soal itu. Tante `kan cuma nanya.”
  
Misi berlanjut...
    “Hmmm... apa mungkin pemiliknya menaruh harta itu di dalam pot tanaman pinus dengan keris ini?”, tanyaku heran.
    Efron langsung menggali tanah di dalam pot sebesar kuali itu.
    “Tunggu! Kurasakan sesuatu di bawahnya!”, seru Efron.
    Aku pun membantu mengangkatnya dan...
    “Sebuah peti?”
    Kami langsung ingin membukanya tapi...
    “Sepertinya terkunci.”, ujar Efron sambil mengamati peti kecil itu. “Di sini ada lubang. Seperti lubang radio.”

Keadaan di rumahku...
   “Ya udahlah Tante. Aku pulang aja. Kayaknya Mimi lama deh.”
    “Yakin udah mau pulang?”
    “Kayaknya gitu...”
    “Lain kali mampir ke sini lagi ya, Ray.”
    “Okelah, Tante. Gampang kog. Bisa diatur...”
    “Ya sudah... Hati-hati ya..”
    “Permisi dulu, Tante.”
     Ray pun keluar dari rumahku dan...
    “Rumah No.666? Kembang Sari?”, tanya Ray dalam hati.

Masih di Rumah Mr.Sutrisno...
    “STUPEFY !!!”, teriaknya.
    Dan peti itu pun terbuka
    “Kog bisa?”, tanyaku penasaran.
    “Yaa.. aku ingat kata-kata di depan pintu perpus tadi.”
    Ternyata di dalam peti itu ada sebuah kertas dan ... berlian!!!
    “HoreeeeeeeEEEEEE..”, teriak kami senang. Tanpa basa-basi lagi kami berdua keluar dari rumah tua itu.
    Menuju halaman depan...
    “Akhirnya... usaha kita ga sia-sia, De!”
    “Iya, Kak!”
    Kami berdua melompat-lompat seperti katak karena kegirangan. Hujan pun turun sangat deras. Tanpa sadar, Efron langsung memelukku. Pelukan yang hangat di antara dinginnya hujan malam itu.
    Ketika kumengalihkan pandanganku di balik pundak Efron, kulihat sosok seorang lelaki muda mengenakan kaos putih dengan jaket army, celana jeans panjang sedang berdiri di depan pagar menatap ke arah kami. Aku langsung melepaskan pelukan Efron dan berlari ke arahnya. Peti itu kuberikan pada Efron.
    Saat kudekati lelaki itu, ternyata... RAYMOND ??? Aku terkejut.
    “Sepertinya kehadiranku sedikit mengganggu..”, katanya pelan.
    “Ray?”, kataku tak percaya. “Apa benar ini Raymond?”
    “Ya. Ini aku.”
    “Kapan kamu datang? Da.. da.. dan gimana kamu bisa nyampe ke sini?”
    “Aku datang kemaren siang. Tadi aku baru dari rumahmu. Kata Tante Lucy kamu ada misi di rumah ini dengan .... dia.”, tatapan Ray langsung berubah saat melihat Efron di belakangku. “Hmmm... waktuku ga banyak. Aku cuma mau bilang, keluargaku bakal pindah ke Paris dan menetap di sana, begitu juga aku. Mungkin ini yang terakhir kalinya aku melihatmu. Eeeem... sepertinya misimu berhasil, aku senang melihatnya. Ternyata kamu lebih berani dari yang kubayangkan. Kurasa kamu udah cukup bahagia sekarang dan... maaf untuk semua kesalahanku sama kamu selama ini. Aku harus pergi.”, Ray langsung berbalik dan berjalan dengan pelan.
    “Ray! Tunggu!”, teriakku. “Bisa-bisanya kamu bilang gitu? Setelah apa yang kurasain selama dua tahun ini? Kamu ga pernah tau tentang perasaanku sama kamu. Kamu ga pernah mau peduli. Ga pernah! Kamu ga tau betapa tersiksanya aku dengan semua kenangan yang pernah kita lalui bersama dulu. Kamu ga tau, Ray!”
    “Tapi kenapa kamu harus ngucapin kalimat itu? Kenapa? Kenapa dulu kamu jauh dari aku? Apa salahku?”
    “Itu salahku. Aku bodoh! Aku terlalu bodoh! Sekarang aku sadar, cuma kamu yang bisa ngisi hati aku.”
    “Kenapa ga dari dulu, Mi? Kenapa baru sekarang? Semuanya udah terlambat.
    “Maafin aku, Ray.. Semua ini salahku.”, tak terasa air mataku pun menetes juga. Aku berbalik dan.. kurasakan jemarinya menarik tanganku dari belakang.
    “Harusnya aku yang minta maaf. Sikapku terlalu dingin. Sebenarnya aku juga masih punya perasaan yang sama. Tolong jangan jauh dari aku lagi, Mi.”
    “Aku mau ngelupain kamu, mulai sekarang..”, aku melepaskan tangannya. “Kupikir masih ada orang lain yang lebih pantas memiliki kamu dan perasaanmu itu.”
    “Terus aku mesti gimana? Kalo kamu ga ngucapin kalimat itu hidupku ga akan serumit ini, apalagi perasaanmu. Kita ga akan tersiksa kaya gini. Sampai sekarang aku malah bingung dengan jalan pikiranmu itu.”
    “Sekarang terserah kamu. Apapun yang menjadi pilihanmu, yakinlah bahwa itu yang terbaik. Maafku mungkin ga berharga. Makasih untuk semuanya.”
    Efron langsung mendekati kami dan menarik tanganku, “Mi, kita pulang sekarang yah? Nanti kamu sakit hujan-hujan begini, lagian udah malem. Mamamu pasti khawatir.”
    Aku terdiam dan menuruti Efron. Kami pulang dan meninggalkan Ray yang masih berdiri di depan rumah itu. Malam itu malam yang paling menyedihkan untuk kuingat. Suasana hujan yang terus mengguyur membuatku semakin bersifat melankolis. Dingin. Air mataku rasanya mau habis. Efron berhasil membawaku pulang supaya Mama tenang di rumah. Aku bingung.
     Setelah mandi, aku mengeringkan rambutku yang basah karena kehujanan. Kubuka jendela kamarku dan menengok ke luar. Kulihat lelaki yang mengenakan kaos putih itu menghidupkan mesin motornya yang diparkirnya di depan rumahku. Sambil sesekali memandang ke arah kamarku. Aku hanya bisa diam. Terlalu sakit rasanya.
    Aku menarik nafas sejenak. “Oh Tuhan, inikah rencanaMu yang indah itu?” ujarku dalam hati. Misi ini selesai, ada kalanya tinggal satu orang yang selalu ada di sampingku, dan akhirnya aku pun juga harus melepaskan satu orang yang selalu berdiam di dasar hati dan otakku untuk selamanya.
    Tiba-tiba Efron mengejutkanku dari luar.
    “Pssssstt.. Hey! Gadis! Aku boleh masuk?”, katanya pelan.
    “Mau apa Kakak malam-malam gini ke kamarku?”, tanyaku sambil melihat-lihat keadaan sekitar, kalau-kalau ada yang berprasangka buruk.
    “Aku mau menghibur kecebong yang sedang sedih...”
    “What? Dasar ikan cupang! Pulang sana!”
    “Ga mau. Kalau kamu keberatan, aku masuk dari depan.”, secepat kilat dia memencet bel rumahku. Mama berlari dan membukakan pintunya.
    “Eeeh, Efron! Kenapa lagi?”
    “Mimi ada, Tante?”
    “Ooh.. Ada tuh di kamarnya.”
    “Efron boleh ketemu `kan, Tante? Ada yang mau Efron tunjukkin sama dia.”
    “Mau ngamen ya? Hahahahaaaa...”, kata Mama tertawa melihat Efron membawa gitarnya.
    “Heee...”
    “Ya udah.. masuk sana! Eiiiiittt... tapi sekalian yah kamu antar makanan ke kamarnya. Mimi belum makan malam. Makanannya di dapur tuh.”
    “Siap, Tante!”, dengan gaya ala militer dia beri hormat ibundaku.
    Efron mengetuk pintu kamarku dan berteriak, “Woooyyy!!! Cathy Saruuuuunggg!!! Banguuuunn!!! Sahurrrr... Sahuurrr !!!”
    Kubuka pintu dengan marahnya, “Heh, Doraemon! Bisa ga sih ga pake acara teriak-teriak di depan pintu kamarku?”
    “Abisnyaaa.. Heh, Komeng! Pegal tau! Liat nih Kakak bawa apaan! Makanan kambing.”
    “Bisa ga sih ga manggil aku dengan nama-nama hewan itu? Masih kebawa suasana di kebun binatang kemaren ya?”
    “Mungkin.. Woy!!! Gadis! Kog malah berdiri di depan pintu? Disuruh masuk kek, duduk kek..”
   “Kalo mau masuk, yaa masuk aja. Dah makanannya taro di meja aja. Apa mau Kakak?”
   “Aku mau... coba duduk dulu. Rileks. Aku mau menghibur hati yang terluka habis digigit curut.”
   Aku pun tertawa melihat tingkahnya dan duduk. Dia mulai bernyanyi dengan petikan gitarnya itu. Lagu yang kusuka.

..there will never be another by my side..
Because all I am is just for you..
And there can never be another by my side..
I need you here with me..
You`d brush away this loneliness from me..
Till the end of time...

    Betapa kagumnya aku. Malam ini kesedihan berganti dengan bahagia. Aku teringat dengan bunga lotus Nenek Carla yang tumbuh di tanah berlumpur. Jika diibaratkan, sosok Efron sama seperti itu.
   Dia bagaikan bunga lotus, mekar dan membuat tanah yang berlumpur menjadi sebuah pemandangan yang indah. Ia sanggup menjernihkan air yang keruh, dan menyegarkan jiwa yang rapuh.
   “Hey, Capung! Ngelamun ajeee.. By the way, gimana soal harta karun kita tadi? Mau dikemanain?”, tanyanya sambil memetik jari.
   “Eeeeemm.. Kata Mama nanti mau dilaporin ke pihak yang berwajib dulu. Diselidiki, baru nanti ada tindakan selanjutnya.”
   “Ooohh.. Bagus deh! Kita bisa masuk koran gitu... Tercantum di halaman pertama sebagai penemu. Ya. Penemu Harta Karun. Apa nama tim kita?”
   “EFMI? Efron dan Mimi? Heheheeee...”
   “EFMI ? Bagus tuh! Setuju saya. Tapi... kenapa ga RAMI aja?”
   “RAMI? Dari mana unsurnya?”
    “Raymond dan Michelle... Hahahahhaaaaa..”, tawanya.
    That`s enough! Aku ga mau dengar lagi nama itu...”
    “Kenapa? Apa Ade udah ngelupain dia? Sebenernya kalian tuh ada masalah apa sih?”
    “Entahlah... Aku ga mau membahas yang itu..”
    “Oke.. Oke.. Bukan urusanku. Tapi.. apa kamu mau membuka hatimu untuk aku?”
    “Aku masih harus berpikir lagi. Aku ga mau bikin kesalahan yang sama..”
     Efron melanjutkan ke lagu yang berikutnya sampai aku bisa menghabiskan makan malamku. Mungkin... sedikit demi sedikit aku bisa melupakan Raymond. Dan membuka hatiku untuk Efron. Aku tak mau mengulangi kesalahan yang sama. Kurasa kebahagiaan dari Tuhan kudapat lewat Efron. Seorang malaikat yang datang diam-diam seperti seorang pencuri di malam hari...


   


  








Chapter 6 He or She?

Kembali ke sekolah...
   “Mimiiiiiii !!!!”, teriak Arsha.
   “Hey..”, aku langsung duduk di sebelahnya.”
   “Gimana liburannya? Kudengar-dengar kamu memecahkan misteri rumah kakek tua.”
   “Tau dari mana?”
   “Dari koran pagi ini. Emmm.. kamu bareng ama Efron `kan?
   “Heeee...”
   “Udaahh.. ga usah disembunyiin. Ternyata kalian cocok juga ya kalo jadi partner. Apalagi kalo jadiii...... pacar. Hahahahahahaaaa...”
   “Iiiiihh.. Loe apa-apaan sih, Sha! Biasa aja dong..”
   “Tapi gimana? Dia ada nembak kamu ga?”
   “Ada sih. Waktu di rumah tua itu.”
   “Haa?? Whhuuuiiiii... Keren! Misteri bercampur romantisme!”
   “Keren apanya? Yaaa.. Gue bilang, gue masih mikir dulu.”
   “Aduuuuhh, Mi. Kepala loe terbuat dari batu ya? Hari gini masih mikir? Cape deeh..! Terima aja, napa?”
   “Gue `kan ga yakin. Aaaah.. udah ah! Gue mau nyamperin Shilla dulu. Daaahh..”
   “Yeee, Ne.”
   Du du du du...
   ““Hai, La...”, sapaku dengan senangnya.
   “Oh..”, jawabnya acuh.
   “Loe kog gitu sih? Ada yang salah ya?”
   “Ga juga. Cuma lagi males aja...”
   “Males kenapa?”
   “Entahlah...”
   Ada apa dengan Shilla? Ga biasanya dia begitu. Dia selalu ceria tapi kenapa sikapnya berubah dingin padaku? Kurasa dia mendengar yang kubicarakan dengan Arsha tadi. Tapi... apa iya?
   Pelajaran dimulai...
   Baik, Anak-anak. Libur panjang kita telah selesai. Kembali ke materi pembahasan kita sebulan yang lalu tentang sejarah Romawi.
   Bu Elizha mulai menjelaskan...
   Aku terus memandangi Shilla yang melamun di pojokan. Apa ini bonus misteri yang kemaren? Aku harus tau ada apa dengan perubahan sikapnya itu. Tatapan Shilla langsung sinis padaku. Seperti sedang melihat sesuatu yang dibencinya. Ada apa dengan dia? Apa ada yang salah denganku? Apa aku melukai hatinya?
...
Aku mencoba berkonsentrasi dengan pelajaran Bu Elizha, tapi tetap saja ada perasaan tidak enak melihat sahabat ku sendiri begitu mengacuhkanku. Biasanya kami selalu mencairkan suasana saat menghadapi ketegangan di kelas. Tapi tempat ini terasa seperti kuburan tanpa canda tawaku dan... Shilla.
Bel istirahat berbunyi...
     Ya. Ibu cukupkan sampai di sini pelajaran hari ini. Sampai bertemu minggu depan.
Aku mencoba mendekati Shilla, tapi ia langsung melarikan diri dariku, beranjak dari tempat duduknya dan berjalan ke luar kelas. Sontak aku langsung memanggilnya, “Shilla !!! Tunggu!”, teriakku.
Ia berbalik dan menatap ke arahku. Tajam. “Apa?”
“Ada yang mau aku omongin.”, jawabku lemah.
“Nanti aja. Lagi males. Aku mau ke kantin.”
“Bentar aja. Plisss...”, kataku memelas sambil menarik tangannya.
Shilla pun memandangiku dengan keras, “Bisa gak sih kamu tuh gak mengusik kehidupanku?”
Hampir tak percaya. Seperti disambar petir, jatuh dari ketinggian beribu-ribu meter, atau habis ditampar kuat-kuat. Terkejut. Sakit. Aku kaku dibuatnya. Bagaimana mungkin sahabat baik ku bisa berkata begitu. Bukan seperti Shilla yang aku kenal. Beda.
“Kok kamu bisa-bisanya ngomong gitu. Mau kamu apa?”, tanyaku heran.
“Bisa-bisanya? Hah? Bukannya kamu yang mulai duluan. Bisa-bisanya kamu.”
“Shilla! Aku bener-bener gak ngerti. Ada apa sih sama kamu? Kenapa jadi tiba-tiba berubah gini?”
“Udah deh, Mi. Gak usah dibahas lagi. Gak penting!”
“Penting buat aku untuk tau apa yang terjadi sama sahabatku. Sahabat yang selalu jadi temanku bercanda, tempat aku curhat, yang mau dengerin ocehanku sekalipun itu gak penting. Tapi penting buat aku untuk tau apa yang bikin sahabatku menjauh dari aku.”
Shilla pun terdiam. Menepi dan duduk kembali di bangku kosong dekat pintu, aku mengikutinya. Aku duduk di sebelahnya, merangkul bahunya walaupun mungkin ia merasa risih dengan perlakuanku.
“Maaf, Mi....”, jawabnya perlahan.
“.......aku emang selalu ada buat kamu, Mi. Aku selalu dengerin cerita-cerita kamu, aku selalu ikut senang kalo kamu senang. Tapi sekarang giliranku, Mi. Kapan kamu bisa ngerti perasaanku? Kapan kamu mau dengar cerita-ceritaku?....
Ingin segera aku menjawab, tapi Shilla kembali berucap...
“Aku suka sama Kak Efron, Mi.”
Pandanganku kosong. Aku tak percaya dengan apa yang aku dengar. Bagaimana mungkin sampai sejauh ini, dan aku sama sekali gak peka sama perasaan sahabatku sendiri.
“Awalnya aku kaget, Mi. Aku udah lama kenal Efron tapi entah kenapa belum ada jalan untuk aku bisa dekat sama dia. Aku gak tau gimana ceritanya kamu bisa dekat sama Kak Efron, dengar berita pagi ini bikin aku nyesek, Mi.”
Terdiam. Seperti kehabisan kata-kata. Entah apa yang harus aku katakan seakan bertolak belakang dengan perasaanku sekarang.
“Kami cuma adek-kakak aja, La. Gak lebih.”
“Pacaran juga bisa berawal dari ade-kakak, Mi. Dia sama aku awalnya juga ade-kakak. Tapi entah kenapa perlakuan dia ke kamu tuh beda sama perlakuan dia ke aku.”
“Kalopun Efron suka sama aku, aku masih tetap belum bisa buka hati buat dia.” Aku berusaha meyakinkan Shilla kalau di antara kami gak ada sesuatu yang spesial.
“Karena Raymond?”
“Entahlah.”, jawabku seadanya.
“Udahlah Mi. Suatu saat kamu emang harus ngelupain Raymond dan mungkin sekarang kehadiran Efron tepat buat kamu.”
Bel masuk kembali berbunyi...
Shilla kembali melangkah ke bangkunya dengan gontai, seperti kelelahan setelah perbincangan kami tadi yang cukup ‘menguras hati’ dan pikiran tentunya. Selama pelajaran berlangsung kami masih saling diam satu sama lain dan enggan saling menatap. Entah karena ingin berkonsentrasi dengan pelajaran, melupakan perbincangan tadi, atau masih bergolak dengan perasaan masing-masing. Ya. Pembicaraan yang belum tuntas.
Sesekali kulihat Shilla beranjak meminta izin ke toilet kepada Bu Sherly. Yang kutahu Shilla memang sangat sensitif jika berbicara soal perasaan. Aku tahu, ada yang mengganjal hatinya, mungkin saja ia ingin segera menenangkan pikirannya. Menangis. Ya. Itulah yang dilakukan oleh sebagian besar kaum cewek saat kenyataan berbanding terbalik dengan perihal perasaannya. Setidaknya itu membuat dia lega sebelum akhirnya bisa kembali tersenyum seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Tidak untukku. Sekarang semuanya menjadi rumit bahkan lebih menjengkelkan daripada rumus trigonometri yang dijelaskan Bu Sherly. Kalau saja bisa memilih, urusan percintaan ini akan ku buang jauh-jauh dan kembali menghabiskan waktu kesendirianku tanpa masalah dan bebas hambatan layaknya jalan layang. Tapi ini harus diselesaikan.
Aku akan selalu merasa bersalah setiap kali menatap sahabatku dan aku tidak akan rela kehilangan cenda tawanya hanya untuk memenangkan keegoisanku atas Efron dan hubungan istimewa yang membuat ini semua jadi rumit adanya. Kali ini aku harus memperjuangkan kebahagiaan sahabatku. Shilla benar. Aku seolah-olah selalu ingin jadi pusat perhatian tanpa pernah peduli perasaan orang-orang di sekelilingku termasuk sahabatku sendiri.
Aku harus berbuat sesuatu untuknya.
Siang itu, saat pulang sekolah, semua orang beranjak keluar kelas. Terlihat Shilla dan tas gendongnya, berjalan menuju parkiran. Biasanya kami selalu berjalan bersama-sama sebelum berpisah di ujung jalan. Tapi kali ini tidak, aku agaknya enggan mendekatinya. Ya. Setidaknya untuk hari ini saja. Aku tidak ingin semakin membuatnya gelisah dengan kehadiranku. Setidaknya sampai besok.
................
Tanda pesan masuk berbunyi. Aku baru saja selesai dengan ritual mandi keramas yang kembali menyegarkan pikiran dan batinku. Ya. Efron lagi.
“Selamat sore adeku yang cantik. J
“Sore juga.”, balasku singkat, berharap tidak perlu banyak basa-basi.
“Pasti baru selesai mandi, iya kan?”
Nih orang emang insting-nya kuat kayak doggy atau emang tebakan berhadiah, batinku. “Kok tau sih?”
“Haha. Ya jelaslah. Aku tadi baru pulang main basket, trus iseng-iseng aja ke rumahmu. Kata Tante Lucy, kamunya lagi mandi. Yaudah, aku langsung pulang aja....”
“.....tepat banget. Kamu mandinya lama banget. Haha”, tawanya.
“Trus? Masalah buat loe?” ejek ku.
“Iya. Masalah. Soalnya kamu tuh cantik banget, bikin aku gak bisa lupa sama tampang kamu yang kayak Peri Gigi itu.”
Setahuku Peri Gigi itu hanya ada dalam dongeng dan kecantikannya pun relatif bahkan sampai hari ini aku belum pernah liat langsung yang namanya Peri Gigi. Kecuali nekad nyabut gigi sendiri trus pura-pura bikin skenario penangkapan Peri Gigi. Jilat Investigasi. Haaaa.... what the.....
“Up to you deh ya.”
“De, aku bisa minta tolong gak?”
“Apa?”
“Senar gitarku rusak. Pengen beli yang baru di toko Om-nya Shilla, tadi aku sms dia tapi gak dibales. Aku telepon juga gak diangkat...”
Udah kayak lagu aja : sms gak dibales, telepon gak diangkat, apa sih maumu?
“....aku tadi udah kasih tau Om-nya Shilla, katanya dia titip senarnya sama Shilla. Besok suruh dia bawa ya, De. Perlu banget soalnya.”
Pucuk dicinta ulam pun tiba (bagi Shilla), yah mungkin ini kesempatan yang baik buat dia bisa dekat sama Efron. Setidaknya pekerjaanku jauh lebih mudah. Mendekatkan Shilla, sahabatku dengan Efron, yang notabene-nya pelaku utama yang membuatku hampir jatuh cinta padanya. Tapi sepertinya takdirku berkata lain. Aku tetap harus menjaga hati untuk dia yang di sana. Entah sampai kapan... Mr. R ku.
...............................................
Seminggu kemudian...
“Hai, Mimi!”, sapa Shilla menepuk pundakku dan berhasil membuatku terkejut setengah hidup.
“Anjing, ayam, kucing, bebek, angsa, demi apaaaaaa????”, kataku latah.
“Hahaaa... kamu pastinya kaget kan. Udah dehhh, stop dulu baca bukunya...”, sahut Shilla menyambar buku Biologiku dan menutupnya agar tak kubaca lagi dan fokus dengan pembicaraannya yang membuatku penasaran.
“Cieeee... Tumben ceria lagi mah si eneng. Ada opo toh yo?”, kataku perhatian.
“Mau dengerin ceritaku gak?”, pintanya dengan gaya sok imut.
“Iya deh iyaaa.... apaan coba?”
“Emmm... tapi janji yah jangan marah.”
Shilla semakin membuatku penasaran, tapi kuikuti saja permainannya, “Iya deh, janji.”
“Besok sore, Efron ngajak aku jalan-jalan ke taman.”
Terkejut? Oh tidak. Jauh lebih baik untuk Efron menemukan orang yang tepat untuk menemani hari-harinya ketimbang menunggu dalam ketidakpastian. Aku dan kisah lamaku yang tak terpisahkan. Ya. Lebih baik.
“Really? Bagus dong. Cieeeeee yang mau jalan-jalan ama ‘ehem’.. haha.”, ejekku.
Air muka Shilla berubah datar, “Loh, kamu gak marah gitu, Mi?”
Aku tersenyum, “Ya buat apalah aku marah, La. Aku juga ikut senang kalo kamu senang. Jujur baru kali ini aku liat kami seceria ini, La.”
“Aku kira kamu ada hati sama Efron.”
“Udah deh, La. Aku kan udah bilang, aku sama Efron itu cuma adek-kakak. Gak lebih. Sekarang tuh giliran kamu yang beraksi. Tunjukkin kalo kamu emang pantes buat dapetin hatinya Efron.”, jawabku lantang sambil menepuk bahu menyemangatinya.
“Makasih ya, Mi.”, jawab Shilla, kemudian memelukku. “Kamu emang sahabat terbaikku.”
“Iya, La. Sama-sama.”
“Okedeh, peraturan nomor 1 elu gaboleh cemburu liat gue jalan ama Efron. Hahaaa...”, seraya melepaskan pelukannya.
“Udah sonooohhh ambil aja Efron-nya neng... Gue masih setia ama cahaya hati gue (ciee elah).”
“Ahhh, elu mah ada dikasih yang baik masiiiiihhh aja suka nguber-nguber masa lalu. Hidup loe tuh emang cocoknya di zaman Pithecanthropus kali yak, gagal move on mulu. Hahahahahahaaa...” ejeknya.
“Sialan loe.. udah sana ah! Gue mau baca buku lagi...Sms tuh sono pujaan hati loe udah makan apa belom.”
“Loh, emang apa hubungannya baca buku ama udah makan apa belom?”
“Nah kalo belom biar gue paketin loe dalam karung goni biar di-delivery ke rumahnya.”
“Elaaahhhh... Yaudah deh Nek, ngantin dulu yak. Lafer. Haha..”, Shilla pun beranjak dan meninggalkanku. Sendiri. Tenang. Ya. Tenang lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar