Cari Blog Ini

Kamis, 09 Mei 2013

Chapter 8


Chapter 8 Behind Our Rain

Liburan semester hampir tiba, semua ‘budak dosen’ ini pastinya sangat kegirangan karena tak perlu lagi harus bersusah payah bangun pagi hanya untuk membersihkan teras depan gedung fakultas masing-masing, mengumpulkan tugas makalah di pagi hari, bahkan menepati janji pertemuan intern dengan dosen pembimbing atau hanya sekedar berjalan-jalan di halaman kampus sambil memasang ‘antene’ kalau-kalau mendapati keberadaan sang pujaan hati.
Seperti biasanya, aku selalu berangkat pukul 6 pagi dan tiba di kampus 15 menit kemudian. Entah mengapa ‘jam biologis’ ku terasa kacau semenjak mengubah status menjadi ‘mahasiswa’. Siklus bangun pagi, makan, tidur pun menjadi lebih singkat dan seperti dikejar bom waktu. Ini yang selalu membuat napasku jadi tidak teratur selama perjalanan. Sulit bagiku menemukan saat yang tepat untuk kembali.... tenang. Tanpa dijejali ribuan tugas dan jadwal yang tak lazim bagiku.
...............................................................................
Kembali ke kost dengan barang bawaan yang begitu banyak, dengan wajah lelah seperti habis bertarung melawan penghuni suaka margasatwa. Mirip Mama. Maksudku wajah lelahnya. Hanya saja Mama akan menampilkan wajah lelahnya setelah kembali dari pasar dengan barang bawaan sayur mayur beserta ‘amunisi’ dapurnya. Amunisiku? Buku-buku, makalah, ATK, novel galau, referensi dari dosen, laptop, dan tentu saja...handphone. Hartaku yang paling berharga. Ketinggalan handphone serasa ketinggalan 1 dari 9 nyawa.
Mandi. Ritual paling menyegarkan sepanjang abad perjalanan hidupku. Sangat ampuh membasmi kuman seperti yang disebutkan banyak iklan di televisi. Mandi adalah satu dari sekian banyak cara untuk kembali “sadar” (maksudku “segar”). Tapi ada yang lebih “sadar” selain mandi dengan cara yang biasa, mengguyur dari bak ataupun shower-an. Mandi hujan.
Entah kenapa air hujan terasa lebih segar ketimbang air dari bak ataupun air dari shower. Padahal air dimana-mana ya sama saja. Toh jatuh dari tempat yang tinggi (sebut: langit) ke tempat yang lebih rendah. Tapi air hujan kali ini berbeda. Langsung dari Sang Penumpah di atas langit sana. Bagaimanapun caranya untuk bisa merasakan air hujan, sengaja atau tidak sengaja. Ada sensasi yang berbeda.
..............
            Aku berjalan keluar dari kamar mandi seraya mengeringkan rambutku dengan handuk menuju jendela kamarku yang terkunci rapat. Namun masih bisa kulihat awan di atas sana terlihat menghitam. Kalau saja aku tahu hari ini akan hujan, aku tidak akan mengambil keputusan begitu cepat untuk mandi. Ya. Ingin mandi hujan.
            Aku membuat cokelat panas dan menyeruputnya sambil duduk di pinggiran jendela hanya untuk sekedar merenung apa yang terjadi di luar sana. Menunggu hujan sore ini. Entah kenapa hidupku selalu diisi dengan aktivitas menunggu yang sebenarnya membuang-buang waktu namun aku menikmatinya. Aku rela menghabiskan beberapa menit hanya untuk menuntaskan fantasiku dengan air hujan. Indah.
.... tiba-tiba nada pesan masuk mengagetkanku...
            RAYMOND
“Hai. Long time no see. Aku sekarang ada di Jogja, aku pengen ketemu kamu sore ini.”
....
Apa? Apa aku salah baca atau mataku mulai terganggu kesehatannya karena efek tekanan batin atau.... atau.... ya. Benar. Ini nyata. Raymond. Tapi kenapa? Kenapa tiba-tiba seperti ini?
“Kenapa tiba-tiba mau ketemu aku? Penting?”, balasku sok ketus.
Sedikit deg-degan menunggu balasannya, mungkin saja dia marah atau malah kembali berbasa-basi.
            “Iya. Penting. Kangen. Kamu dimana?”
            Apa? Kangen? Bisa-bisanya dia berkata begitu. Gugup melanda batinku, sangat kikuk, dia ingin bertemu denganku. Sejenak kulihat ke arah jendela, awan masih menghitam. Belum juga hujan. Semoga saja hujan ini bisa ditunda dulu sampai pertemuan kami tiba. Kuharap begitu.
            “Kost putri dekat UGM. Pandega Karya 21.”
            “10 menit lagi. Tunggu aku di depan kost.”
.....
            Segera aku menyisir rambutku yang hampir kering, beranjak keluar menuju teras. Sengaja aku duduk di kursi halaman depan, menandakan aku yang lelah menunggu. Menunggu orang yang faktanya baru sadar bahwa aku selalu menunggunya. 10 menit menjadi biasa saja bagiku, namun aku mencoba tetap dalam kondisi sabar. Sabar Menunggu, seperti nama warung kaki lima yang di ujung jalan Kaliurang.
            Tak lama kulihat seseorang dengan perawakan tinggi, mengenakan jaket army dan...muka tirusnya. Sosok yang sangat aku kenal. Ray menuruni kendaraannya dan berdiri di depan pagar. Aku menyambutnya dengan sedikit gerakan tanpa bahasa, berjalan ke arahnya dan membukakan pagar.
            Ia tersenyum.
            Aku hanya bisa membalas dengan senyuman pula. Kami berjalan beriringan menuju teras. Sampai. Dan duduk berhadapan. Tanpa kata sedikitpun.
            “Kok diam? Ada yang aneh ya?”, tanyanya sengaja membuka pembicaraan yang terasa dingin ini.
            “Oh, emm... gak apa-apa.”, jawabku seadanya.
Aku kembali terhenyak.
            “Emmm.. KAMU......”, serentak. Kami mengucapkan kalimat bersamaan dan terhenti, enggan melanjutkan. Tanda saling memberi kesempatan siapa yang ingin bicara duluan.
            “Kamu aja duluan...”, sahutnya.
            “Gak. Kamu aja dulu deh.”, ucapku mempersilakan,
            “Emmm.. maaf ya, Mi. Mungkin aku sedikit ganggu kamu.”
            “Gak apa-apa kok. Kebetulan aku juga lagi gak ada kerjaan di kost.”
            “Kamu gak kaget aku tiba-tiba datang gini?”, tanyanya heran.
Sejenak aku berpikir, bagaimana mungkin aku mati gaya di hadapan orang yang aku kutunggu selama ini. Seketika saat dia datang mestinya aku menyambutnya dengan tawa bahagia, tapi entah kenapa rasanya aku enggan ingin melebarkan senyuman sedikit saja. Mungkinkah aku yang memang sudah terlalu lelah hingga aku merasa ini akan menjadi akhir dari penantianku. Pertemuan ini yang kuharapkan namun aku siap untuk bersedih lagi saat harus berpisah setelah pertemuan ini yang aku tak tahu dalam durasi berapa lama. Selama yang dia inginkan.
“Emm.. emangnya kamu mau ngapain ke Jogja?”, tanyaku seadanya.
“Kebetulan aku ada tugas kampus yang bikin aku harus nyari referensi buku. Di Salatiga gak ada toko buku yang memadai, kalopun ada, persediaannya kurang lengkap. Denger-denger kamu ada di Jogja, makanya aku ke sini sekalian pengen ketemu kamu.”, jawabnya seolah-olah logis namun menyembunyikan maksud sebenarnya.
“Kenapa gak ke Semarang aja? Toh Salatiga-Semarang kan lebih dekat, lumayan hemat ongkos PP.”, tanyaku heran.
Ia pun terdiam.....
            “Emm... ..”
            Awan semakin menghitam saja, air dari langit turun perlahan... dan semakin deras.
            Ya. Raymond dan hujan tidak bisa dipisahkan. Hampir saja kubuat plesetan namanya menjadi Rain-mond. Walaupun sebenarnya ‘Ray’ adalah cahaya, tapi dia tidak sehangat namanya. Pembawaannya yang dingin lebih cocok jika disandingkan dengan hujan.
            “Aku kangen kamu.”, jawabnya pelan, hampir sulit kumendengarnya karena bersaing dengan suara hujan.
            Sontak aku berdiri dan menatap sinis padanya. Bisa-bisanya dia bicara begitu. Kangen? Padaku? Aku bukan siapa-siapa baginya. Aku hanya...... hanya aku saja yang terlalu berharap. Meski memang aku mengharapkan kata itu keluar dari mulutnya sendiri.
            Aku melangkah ke tepian dan mengalihkan pandangan. Menatap hujan yang sedang turun, menadahkan tangan seolah-olah ingin menampung ribuan tetes air yang jatuh, tapi tak bisa. Selalu saja tumpah dan jatuh ke tanah. Sama seperti rasa rindu yang kucoba tampung, tapi kali ini tumpah juga.
            “Aku.... aku lebih kangen lagi.”, jawabku pelan.
Kami pun terdiam.
Wait. Sejak kapan aku katakan “kami”? Tidak ada kata “kami” di antara kita. Cuma kamu dan aku. Kebersamaan ini tidak sepatutnya disebut “kami”. Kalau di antara “kami” ada “dia”.
            “Jadi..kamu ke sini cuma mau bilang itu aja?”, lanjutku.
Ray menghela napas sejenak.
            “Yaa.. aku pengen ketemu kamu aja. Udah lama banget.”
            “Ke sini sendirian aja?....”, tanyaku lirih. “...cewekmu mana?”
Ray menundukkan kepala seraya menggenggam erat kedua tangannnya. Membuang muka. Sedikit resah dengan pertanyaanku.
            “Di Salatiga.”
....
            “Udah berapa lama kalian pacaran?”.
            “Baru 2 bulan.”
Perbincangan ini mungkin terasa menyayat hati, tapi aku hanya ingin tahu. Seolah-olah aku ingin membanding-bandingkan mana yang lebih membuat Ray merasa bahagia.
            “Cantik ya? Orang mana?”, tanyaku lagi.
            “Orang Jawa juga. Yah, lumayan. Mukanya mirip kamu, Mi.”
            Bisa-bisanya dia berburu wanita yang wajahnya mirip denganku. Faktanya aku adalah aku. Tak bisa disama-samakan dengan gadis itu sekalipun wajah kami mirip. Dan aku tak suka disama-samakan.
            “Kok bisa? Ketemu dimana?”, tanyaku lirih.
            “Ya bisa lah....”, Ray bangkit berdiri mendekatiku. Menepi dan memandangi hujan. “... pertama kali aku ketemu sama dia di depan asrama putra. Kebetulan dia lagi nganterin makan siang buat sepupunya, yaa..dari situ aku mulai kenal dia. Orangnya ramah lingkungan...”
            Iya. Udah kayak mesin kendaraan aja, ramah lingkungan. Semakin banyak aku bertanya, semakin menunjukkan kecemburuanku. Tapi entah apa yang ingin dibahas saat pembicaraan dingin seperti ini. Gadis itu seolah-olah membayang-bayangi pikiranku. Membuatku semakin takut saat Ray membuat pilihan yang salah (bagiku).
            “Oohh... baguslah.”
            “Kenapa? Cemburu?”, ejeknya dan langsung menatapku.
Melawan perasaan. Aku menatapnya balik, “Biasa aja”, jawabku lirih.
Terdiam. Hujan semakin lebat. Saat yang tepat untuk menari dalam kegalauan batin. Ray sangat pandai membuatku terdiam. Mati gaya di hadapannya.
            “Banyak masalah dengan cewek kayak dia...”, lanjutnya.
            “Masalah?”
            “Iya... dia itu terlalu serius. Semuanya dianggap serius. Gak kayak kamu, periang. Bisa diajak becanda. Brasa selalu salah di matanya.”
            Oh jadi sekarang buka sesi CurCol (Curhat Colongan) antara dia dan dia yang satunya lagi. Aku hanya jadi pendengar yang baik. Entah aku akan senang setelah mendengar dia bermasalah dengan dia yang satunya lagi.
            “Loh, bukannya bagus? Bisa semakin diajak serius. Love is not a game. Jangan dibuat mainan.”
            “Hahaha.. kamu tau aja aku suka main game...”, candanya.
            “Harvest-Moon.”
            “Banget. Hahaa.”
            “Apa sih yang aku gak tau....tentang kamu.”, banggaku.
            “....dan cuma kamu yang ngerti aku.”, lanjutnya.
Ray menggengam tanganku, keduanya. Menatapku tajam seolah-olah tak ingin melepasku. Lagi.
            “Selesaikan dulu urusan hati kamu sama dia. Aku gak mau jadi perantara.”
            “Aku di sini sampai hari Sabtu. Masih pengen ketemu kamu lagi. Tunggu aku.”, katanya penuh harap.
Masih saja hujan. Seolah-olah tak ingin ia segera pulang. Masih ingin ia berada di sini. Menghabiskan sisa rindu yang tadinya sempat tumpah, tak sengaja tumpah. Bukan suatu kebetulan aku, dia, dan hujan berada di sini. Seperti mimpi. Aku melepasnya untuk sebuah pilihan. Terima kasih, hujan.
.......
Seketika reda dan melepas genggamannya dengan senyuman. Perpisahan itu harus terjadi. Lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar