Cari Blog Ini

Rabu, 08 Mei 2013

Chapter 7


Chapter 7 Always On My Mind

Maybe I didn't treat you
Quite as good as I should have
Maybe I didn't love you
Quite as often as I could have
Little things I should have said and done
I just never took the time
But you were always on my mind
You were always on my mind
Maybe I didn't hold you
All those lonely, lonely times
And I guess I never told you
I'm so happy that you're mine
If I made you feel second best
Girl, I'm sorry I was blind
You were always on my mind
Tell me, tell me
That your sweet love hasn't died
Give me, give me one more chance
To keep you satisfied
Satisfied
Little things I should have said & done
I just never took the time
You were always on my mind...
                                                (Michael Buble - Always On My Mind)
Lagu itu sangat tepat jika diminta untuk menggambarkan bagaimana perasaanku sekarang. Sudah 2 tahun terhitung sejak aku kehilangan orang-orang yang kurasa “dekat” dan memutuskan untuk sendiri lagi. Tapi tetap saja yang satu itu sepertinya betah ‘bersemayam’ di dalam pikiranku untuk beberapa waktu yang cukup lama. Ya. Siapa lagi. Tak bosan-bosan aku sebut namanya, Raymond.
Entah paham apa yang kuanut sekarang, aku seolah-olah percaya pada kemustahilan yang kualami sekarang. Mustahil karena jarak yang sulit dijangkau, waktu yang terus berputar menjauh, dan perasaan yang belum tuntas. Dunia ini terasa makin sempit saja, dengan begitu banyaknya bertaburan media sosial, aku bisa saja dengan mudah mengakses halamannya hanya untuk sekedar melihat postingan terbarunya. Sekali-kali aku memandangi fotonya hanya untuk menepis rasa kehilanganku (sebut saja: rindu).
Enggan memang. Menghabiskan waktu untuk sesuatu yang sebenarnya tidak perlu, tapi tak bisa kupungkiri aku masih mengharapkannya kembali lagi. Kadang selalu dihantui penyesalan di akhir seperti ini. Namun hukum dunia ini memang adil. Kalau penyesalan terjadi di awal, orang-orang ini akan takut untuk bertindak. Sebut saja, penyesalan ini adalah awal untuk hal yang lebih benar adanya.
Mencoba membijaki diri sendiri seolah-olah akulah orang paling tegar di dunia. Aku yang selalu ingin menunjukkan padanya kelak bahwa penantianku tidak akan sia-sia. Aku rela dunia fantasiku diracuni oleh bayangan tentang dirinya. Dan aku menikmati saat-saat merindukannya.
...........................................
Yogyakarta. Kota Budaya, Kota Gudeg, Kota Pelajar. Impian terbesarku adalah bisa berpijak di kota ini untuk beberapa waktu yang lama. Meski harus kembali merentangkan jarak dengannya dan memilih jalan hidupku sendiri.
Aku selalu dihantui perasaan bersalah kenapa aku tidak mengabulkan saja permintaannya untuk pindah ke Salatiga, toh kami akan semakin dekat. Tapi apalah artinya jarak bagiku, yah walaupun sekarang bisa dijadikan penyebab utama masalah hati yang tak kunjung pulih. Aku berusaha tidak menyalahkannya, menyalahkan waktu, menyalahkan jarak, atau menyalahkan kesempatan yang kubuang percuma.
.....................................................................................................................
Tiba-tiba Nessa mengejutkan lamunanku.
“Hayoooo!!! Anak curut galau lagi yak... Hahahahaha”, tawanya.
“Yah elah elu, Nes. Ada opo toh yo?”
Nessa. Sahabat yang mengiringi kepergianku ke Yogyakarta. Sekarang jadi partner kuliah dan berhasil mengubah suasana hatiku, dari low mode jadi heart attack.
            “Ora opo opo toh yo. Hahaha.”, menjawab dengan bahasa Jawa yang sekenanya. Maklum penyesuaian dengan habitat baru (bagi Nessa) yang notabene-nya orang Sunda, lintas budaya jadi Wong Jowo meski sudah 3 tahun tinggal di Semarang. Tapi bahasa Jawa-nya masih belum fasih beserta medok medok-nya.
            “Ngelamunin opo toh, Neng Gelis?”, lanjutnya seraya mencampur-sari bahasa.
            “Mau tau aja apa mau tau banget?” Hahahaha. KEPO lu ah. (KEPO = Knowing Every Particular Object).
            “ Elaahh.. gue mah nanya doang, malah dibilang KEPO. Lebih tepatnya gue pengen tau aja, emmmm..... seriously, masih kepincut sama Mr. R loe itu yah, Mi?”
            “Hah?”, tanyaku pura-pura tak mendengar jelas perkataan Nessa yang sedikit mendesakku untuk berkata ...ya. Jujur.
            “Mi... “, lanjutnya.... “..kita kan udah sahabatan dari SMP, gue kenal banget sifat loe dan gue tau semua kisah percintaan loe yang sengaja dibikin rumit serumit benang kusut jahitan nenek loe itu. Udah deh, Mi. Sampai kapan loe berkutat dengan bayang-bayang Raymond yang gak jelas juntrungannya itu kemana. Liat sekarang. Loe masih bisa pijakin kaki loe kan di tanah Jogja ini?”
            “So? Apa masalahnya?”, tanyaku heran, seolah-olah Nessa berusaha meyakinkanku untuk melakukan ritual ‘Move On’ yang pada akhirnya akan membuatku tersiksa lahir dan batin.
            “So.... itu tandanya masih banyak cowok-cowok yang kasep pisan di Jogja ini toh ndo.”, tuturnya.
            “Wait..wait. Di Jogja mah kagak ada tuh yang namanya kasep-kasep-an, yang ada malah cowoknya yang KASEP-IAN.”
            “Yah elu sih udah berabad-abad masih aja sampe ubanan, rontokan, buluan nungguin Ray. Mau mati bediri loe di sini?”
            “Shut up! Cerewet banget sih loe ah... suka-suka gue dong, toh gue juga yang ngerasain jatuh bangun buat nungguin Ray. Dan gue yakin kalo someday Ray bakalan balik ke gue, gimanapun caranya.”, sahutku optimis meski sebenarnya ragu menyempitkan angan yang membara.
            “Idiiih... si Eneng mah marah. Loe kayak lagu Meggie Z  aja ah pake jatuh bangun segala.”
            “Menurut buku yang gue baca..... Cinta itu butuh pengorbanan.”, jawabku seadanya.
            “Alaaah... Korban perasaan tuh maksudnya.”, lirik Nessa padaku. “Paling juga musiman tuh, deket deket Idul Adha ngorbanin sapi, kambing, kalo perlu unta sekalian tuh demi pujaan hati loe itu. Hahahahaha.”tawanya.
            “Sialan loe, Nes. Gak segitunya juga kali.”
(sama-sama tertawa kecil....)
            Hari semakin sore, kami masih saja bercanda tawa di pinggiran taman dekat kampus. Menunggu senja untuk kembali pulang sebelum membereskan kamar kost yang baunya udah kayak kandang ayam ditinggal berjam-jam.
            “... mmm, Nes?”, panggilku pelan.
            “Opo toh?”, sahut Nessa sambil menghabiskan gorengan yang dibelinya.
            “mmm... gue masih inget, dulu loe pernah mau cerita sesuatu kan soal ....emmmmm... Ray, ke gue?”, tanyaku ragu.
            Nessa pun berhenti mengunyah gorengannya. Bak robot yang berhenti bergerak saat tombol remote ditekan. Hening.
            “Hey!”, ujarku seraya menepuk pundak Nessa. “Loe gak apa-apa kan?”
Nessa kembali mencoba mengunyah, walau kelihatannya sulit. Raut mukanya tiba-tiba saja berubah serius seakan-akan ada sesuatu yang berat untuk dikatakan. Ya. Kenyataan. Dan aku tak tahu apa yang selanjutkan akan ia utarakan padaku. Penasaran, tapi takut untuk tahu, atau sekedar mencari tahu dan pura-pura gak mau tahu. Setelah ini...
            “Well... aku gak tau harus mulai dari mana.” Ucap Nessa setengah pasrah setelah menghabiskan gorengannya yang kurasa mengganjal tenggorokannya untuk berucap lagi. Ya. Minyak selalu menghambat pembicaraan serius ini.
            Aku menyodorkan air mineral untuknya agar perbincangan ini jadi lebih lancar adanya dan tidak menyulitkanku untuk bertanya lebih jauh lagi. Aku siap mendengarkan.
            “Thanks.”, Nessa meneguk minuman yang kusodorkan. “Kamu itu sebenernya bodoh, Mi.”, pandangannya serius dan enggan menatapku. Hanya melihat tajam bangku taman di seberang sana. Kosong.
            What? Maksud loe apa?”, tanyaku heran.
            “Udah 2 tahun loe nunggu dalam ketidakpastian. Hati.”
Aku terdiam. Rasanya enggan mendengarkan kalimat selanjutnya.
            “2 tahun yang lalu, gue liburan ke Salatiga sama sepupu gue. Waktu itu gue dapet sms dari Ray buat ketemuan di salah satu kafe. Entah kenapa gue kaget di sana dia malah datang bareng seseorang yang gue gak kenal.”
            “Seseorang? Siapa? Cewek?”, tanyaku antusias.
            “Emmmm.. wait.wait. jangan emosi dulu, Neng.”sahutnya menyabarkanku, menatapku dengan tenang. “Iya... jenis kelaminnya sih cewek. Awalnya gue pikir maybe... maybe yah. Emmm... adek-nya atau....”
            “Ray gak pernah punya adek perempuan!”, sahutku tajam.
            “Emm.. oke. Bukan adeknya, dan cewek itu cuma berdiri di depan kafe dan cuma Ray yang nyamperin gue. Sendiri. Dan itupun cuma sebentar, gak sampe 15 menit.”
            “Udah deh! Gausah basa-basi! Langsung ke point-nya aja! Ray ngomong apa sih ke loe, Nes?”
            “Hemmm... Dia udah punya cewek, Mi. Dia gak enak ngenalin ceweknya ke gue yang notabene-nya gue ini temen mantannya yang parahnya lagi mantannya itu ... “
            “Iya, gue.”, sahutku pasrah.
            “Dan parah parah parah separah-parahnya lagi ... dia minta sesuatu ama gue....”
Nessa menarik napas pelan. “Dia minta gue buat ngomong sama loe, entah buat apa tapi...kayaknya perihal hubungan dia, kamu, dan ‘dia’ yang satunya. Ya. Cinta segitiga. Dia ngeluarin unek-uneknya dalam kurun waktu dan tempo yang sesingkat-singkatnya. Yah kurang lebih 10 menit karena kayaknya tuh cewek udah kesemutan nungguin di depan kafe. Entah karena banyak semut atau pegel pegel ditinggal beberapa menit aja.”
            “Duuuhhh... elu nih rumit banget sih jadi manusia yak. Langsung ke intinya aja. Ray ngomong apa? Dia masih suka gak ama gue?”, tanyaku tak sabar.
            “Michelle kusayang, cintaku, hunny bunny sweetyku... Ray itu bukan tipe cowok yang mudah menyatakan perasaannya ke cewek. Kalopun dia masih suka sama loe, dia gak akan otomatis bilang sejujur-jujurnya.”
Aku terhenyak.
            “Maybe.. masih ada rasa. I think. Emang sih dia sekarang lagi sibuk kuliah dan pengen fokus. Kebetulan dia satu kampus sama cewek itu. Dan intensitas ketemuannya lebih sering daripada nungguin loe yang gak tau mijak tanah yang sebelah mana.”
            “So, intinya dia udah punya cewek dan anehnya lagi aku, dia, ya. Raymond, Michelle, masih saling........mikirin. OH MY GOD! What the.............”
            “Huuuuusssshhhh......come on, Girl. Slow...slow...slow..”
            “Kenapa sih dia tuh selalu bikin rumit? Bakalan jadi mudah kalo dia pindah ke Jogja trus nyamperin gue trus ngajak gue balikan. Selesai kan ceritanya?”
            “Ya gak semudah itu lah yaa.. Udah deh, intinya dia masih mikirin loe meskipun nih dia udah punya cewek, yah seengganya menemani kesepiannya aja sembari nunggu kapan dia bisa ketemu sama loe yang gue juga gak tau abad ke-berapa kalian bisa ketemuan.” sahut Nessa pasrah.
            Aku gak ngerti kenapa harus bergejolak dalam pikiran. CUMA pikiran. Entah kapan bisa jadi real. Imajiner kayak bilangan matematika. Dan gue benci itu. Entah ini jadi kabar baik buat gue, atau nightmare. Cuma berharap dan kembali.... berpikir.
                                                Untuk dia yang selalu bersemayam di pikiranku.

..................
Kami menyelesaikan perbincangan ini dan berlalu. Sore itu aku kembali berjalan ke kost untuk beristirahat. Sepanjang jalan setapak, aku hanya merenung di tengah senja, kapan bayangan ku di sepanjang jalan ini tidak sendirian lagi. Someday.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar